Rabu, 05 Maret 2008

Indonesia Sudah Sangat Membutuhkan UU Intelijen

Indonesia sudah sangat membutuhkan UU Intelijen karena kondisi negara yang rawan ancaman terorisme dan tindakan destruktif lainnya.

"Kebutuhan UU Intelejen sudah sangat mendesak karena jika menunggu sesuai aturan yaitu diajukan pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebelum 2007, maka UU Intelijen itu baru 2009 dapat kita memiliki," kata pengamat masalah intelijen Wawan Purwanto di Jakarta, Jumat.

Alasannya, jika rancangan UU tersebut diajukan pada 2007 maka pembahasannya pada 2008 dan baru pada 2009 bisa diberlakukan. Sementara kondisi di lapangan sudah sangat memerlukannya mengingat potensi konflik serta aksi terorisme terus mengancam.Dia menilai jika memungkinkan pada akhir 2005 hendaknya sudah bisa ditetapkan untuk membahas konsep (draft) RUU yang sudah ada pada tahun 2006.

Dia menjelaskan aturan hukum (Keppres) yang dimiliki Indonesia masih sangat lemah, terutama jika dibandingkan dengan "Patriot Act" di Amerika Serikat dan UU sejenis di Inggeris dan Australia, termasuk "Internal Security Act" (ISA) Malaysia."Patriot Act" memiliki wewenang menahan seseorang yang diduga teroris hingga tiga tahun, ISA bisa menahan hingga dua tahun, sementara BIN Indonesia tidak mempunyai wewenang untuk menangkap tersangka.

Ketika ditanya tentang kelayakan Indonesia untuk kembali ke UU Antisubversif, Wawan mengatakan tidak demikian karena pada UU Subversif ada pasal-pasal "karet" yang bisa berdampak negatif."Kita memerlukan UU Intelijen yang lugas yang menjelaskan hak dan wewenang badan intelijen untuk mencegah terjadinya aksi teroris dan aksi lainnya yang merugikan dan mengancam negara," katanya.

Dia menjelaskan, saat ini aparat intelijen gamang untuk bertindak karena khawatir menghadapi tuduhan melanggar Hak Asasi Manusia."Akibatnya, aparat intelijen menjadi skeptis," katanya. Ketika ditanya, perlunya melibatkan orang-orang yang benar-benar mengenal dunia intelijen dalam penyusunan UU Intelijen, Wawan mengatakan memang sebaiknya demikian, karena pemerintah dan DPR tidak bisa hanya mengandalkan kalangan akademisi yang tidak mengetahui medan intelijen Indonesia yang sesungguhnya dan perkembangan dunia intelijen dunia.

"Juga jangan sampai ada tuduhan bahwa masukan dari para penyusun UU Intelijen itu adalah pesanan dari pihak luar (asing) yang justeru membuat UU Intelijen itu tidak efektif."Dia menyebut sejumlah nama yang layak dipertimbangkan sebagai narasumber, yakni Wirawan Soekarno (dedengkot intelijen)dan Bom Suryanto (mantan orang intelijen).Wawan Purwanto juga termasuk salah seorang penyusun "draft" intelijen pada 2003.

Menurut Wawan yang juga dosen Sekolah Intelijen Indonesia, "draft" yang disusunnya kini sudah jauh berbeda.Beberapa hal yang menjadi polemik dari "draft" tersebut adalah kewenangan menangkap dan pengadaan senjata. Dalam dunia intelijen kewenangan menangkap, yang dimiliki sebagian besar lembaga-lembaga intelijen di dunia, merupakan upaya preventif.

Dalam kondisi seperti ssekarang, dia menilai pemerintah dan DPR perlu memperkuat lobi antar pihak terkait agar UU Intelijen segera dibahas dan diundangkan.Sebelumnya, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar mengatakan pemerintah dan DPR sudah saatnya membahas RUU tersebut agar kinerja lembaga tilik sandi itu semakin optimal, khususnya dalam upaya deteksi dini dan pencegahan aksi terorisme. ant/mim

29 Nopember 2005

sumber: http://www.ham.go.id/index_HAM.asp?menu=artikel&id=651

Tidak ada komentar: