Selasa, 04 Maret 2008

Aksi Terorisme Tidak Rasional

Terorisme kini menjadi hantu yang menakutkan. Para teroris tidak memilah dan memilih korbannya, baik Muslim maupun non-Muslim: semua menjadi sasaran aksinya. Mereka juga sangat piawai menggunakan teknologi untuk menggalang dana dan mengendalikan aksi terorisme. Mengapa teorisme selalu mengancam keamanan negara dan masyarakat? Berikut pandangan Wawan H. Purwanto.

Apa sebenarnya penyebab mun­culnya terorisme di Indonesia?

Kalau dalam konteks Indonesia, munculnya kelompok teroris akibat; pertama adalah masalah sentimen kea­ga­maan dan pembelaan terhadap umat Islam yang tertindas di Timur Tengah. Stan­dar ganda yang diterapkan dalam masalah Palestina-Israel yang men­do­rong mereka untuk melakukan perla­wa­nan. Karena mereka tidak bisa menye­rang di Palestina, akhirnya mereka me­nye­rang di mana saja, yaitu di daerah yang banyak ditinggali warga negara yang pemerintahnya dianggap berbuat ke­za­liman di Palestina. Indonesia ber­peluang besar dijadikan tempat itu, mengingat Indonesia adalah negara ber­pen­duduk Muslim mayoritas sehingga mereka mempunyai tempat untuk ber­sembunyi. Fakta di lapangan menunjuk­kan bahwa Indonesia menjadi ladang subur dari ajang terorisme internasio­nal. Sesungguhnya Indonesia juga men­jadi korban.

Apakah meledakkan bom di Indonesia adalah perjuangan yang tepat untuk membela umat Islam yang ter­tindas di Timur Tengah?

Kita ingin menyadarkan bahwa kita perlu rasional dalam berjuang. Tidak hanya mengandalkan semangat semata, tan­pa berpikir bahwa korbannya adalah bangsa ini. Akibat aksi terorisme, bangsa ini perekonomiannya semakin morat-ma­rit, banyak orang di-PHK, investor ta­kut masuk ke Indonesia, dan turis enggan berkunjung. Kita harus memi­kirkan man­faat dan mudarat saat akan mela­kukan serangan di negara sendiri. Saya kira, melakukan serangan di negara sendiri lebih banyak mudharatnya. Saya lebih menghargai mereka yang dari Qatar, Maroko, Libya, dan negara lain yang langsung pergi ke negara konflik untuk membantu saudara seiman mere­ka. Ini lebih kesatria daripada ber­aksi di negeri sendiri. Kalau mau berpe­rang, per­gilah ke tempat perang. Jang­an ber­perang di daerah damai, apalagi sampai mengor­bankan orang yang tidak berdosa dan merugikan atau melum­puhkan per­eko­­nomian negara tersebut yang tentunya akan mengakibatkan penderi­ta­an bagi rakyatnya, termasuk bagi me­re­ka yang beragama Islam.

Mengapa pejuang HAM di Indonesia bisa menerima UU semacam UU Antisub­versi? Apakah pejuang HAM Indonesia tidak belajar dari pejuang HAM negara lain?

Ini disebabkan trauma masa lalu sehingga muncul penentangan yang sangat keras terhadap UU Antisubversi di DPR dan di masyarakat melalui LSM-LSM maupun ormas-ormas. Ini merupa­kan buah simalakama. Kondisi ini sangat rawan untuk dijadikan satu titik lemah untuk masuk. Kita harus sadari bahwa kelom­pok-kelompok perlawanan (ter­hadap UU Antisubversi-red) mempunyai agen­da tersendiri. Kalau terorisme terus ber­langsung, pencitraan terhadap pemerintah sekarang akan menjadi negatif. Sehingga di 2009 kelompok ter­tentu mempunyai peluang mengambil alih pemerintah. Inilah yang menyebab­kan terjadinya perseteruan politik sehing­ga yang menjadi korbannya adalah rakyat sendiri. Ini yang kita sesalkan.

Kita menghimbau kepada para poli­ti­si untuk lebih mengedepankan kepen­tingan publik yang lebih luas dan mereka mempunyai kewajiban untuk memberi­kan perlindungan yang cukup kepada war­ga negara Indonesia, ter­masuk war­ga negara asing yang tinggal di Indone­sia, tanpa harus melanggar HAM. Tapi kita ingat, bahwa teroris sendiri adalah pe­­langgar HAM. Sungguh enak sekali jika para teroris dihormati HAM-nya se­dang­kan perbuatan mereka melanggar HAM.

Bagaimana masyarakat menyikapi kon­disi ini?

Masyarakat kita ingin tahu beres saja. Mereka tidak mau pusing akan hal ini dan mereka cenderung tidak peduli. Yang peduli adalah DPR, organisasi sosial kemas­yarakatan, para aktivis, dan LSM-LSM yang merasa tidak dengan kondisi se­perti itu. Masyarakat hanya ingin tahu be­res saja. Dan saya melihat sebagian masya­­rakat sudah jenuh dengan kondisi seper­ti ini. Sudah tidak ingin adanya teror-teror yang berkepanjangan, kare­na itu mereka menginginkan UU subversi diterap­kan. Masyarakat yang berpen­da­pat seperti ini hanya sebagian saja dan seba­gian yang lain menolak. Yang kita per­­lukan adalah satu alternatif atau jalan keluar dari masalah ini. Kalau kita ber­­kaca pada Amerika, pemerintah Ame­rika mengutamakan perlindungan publik, baik warga negara sendiri mau­pun warga negera asing. Sehingga peme­ri­ntah Amerika memburu kelompok yang dianggap menggangu keamanan rakyat­nya, bahkan dengan menangkap kepala ne­gara lain yang mengusik kepentingan nasio­nalnya. Indonesia untuk menjadi se­perti Amerika tidak mampu, karena hal ini harus didukung oleh kekuatan eko­nomi dan militer yang cukup besar.

Jadi, kita harus menjadi negara mak­mur lebih dahulu?

Faktanya demikian. Kita terjebak hutang yang luar biasa akut. Kita lihat Rusia, hutangnya sudah hampir lunas sehing­ga ia membuat aliansi peradaban yang merangkul beberapa negara Islam. Mere­ka menerapkan kebijakan masa lalu­nya, pada masa Uni Soviet. Soviet, mes­­kipun adalah negara komunis, mem­bangun aliansi dengan negara-negara Islam karena mempunyai kepentingan yang sama, yaitu berhadapan dengan kepen­tingan Barat, dalam hal ini Amerika. Sekarang Rusia tampaknya mulai menunjukkan pertumbuhan eko­nomi yang sangat pesat dan per­sen­ja­taan yang sangat besar, di samping me­reka mempunyai nuklir. Perlu diketa­hui, aliansi ini telah diperhitungkan oleh ne­gara-negara Barat bahwa Rusia sedang mengupayakan membangun kepenti­ngan­­nya.

Tidak ada komentar: