Selasa, 04 Maret 2008

Ancaman Teroris Tetap Ada

Tewasnya aktor intelektual kekerasan, Azahari Husin oleh Tim Datasemen 88 dalam penyergapan di Batu, Malang, 9 November 2005 merupakan keberhasilan besar aparat keamanan dalam memutus mata rantai peledakan bom di Tanah Air. Sejak Azahari rewas disinyalir bahwa tragedi-tragedi kemanusiaan di Indonesia akan berkurang, karena perakit bom utamanya telah tiada. Meskipun Azahari telah tewas, apakah ancaman terorisme juga berakhir? Bagaimana peranan jaringan teroris internasional? Berikut pandangan pengamat intelijen, Wawan H. Purwanto.

Beberapa waktu lalu, pasca pe­ringat­an lima tahun 11/9, Al Qaeda Dr. Ayman Al-Zawahiri, tangan kanan Osama bin Laden, kem­bali melontarkan ancaman teror dan menyerukan kaum Muslim mem­buat serangan. Komentar Anda?

Sebetulnya, selama mereka masih ada, ancaman tetap ada. Termasuk di Indonesia, selama Noordin M. Top, Zul­kar­naen, Abu Dujana, Umar Patek dan lain-lain belum tertangkap, maka anca­man itu tetap ada. Selama perlakuan negara-negara Barat tidak mau merang­kul dan berendah hati, selama itu pula per­seteruan akan terjadi. Perseteruan ini sepertinya ada yang memelihara, dengan alasan kalau dunia aman, pabrik-pabrik senjata tidak akan laku, riset-riset unggulan tidak akan terpakai, dan asuransi-asuransi besar tidak pernah ter­sentuh, dan lain sebagainya. Ini yang men­jadi persoalan, mengapa ada kepen­ti­ngan ekonomi yang bersama-sama masuk di dalamnya.

Jika demikian, benarkah ada rekayasa asing dalam aksi terorisme, ter­masuk penggunaan teknologi infor­masi?

Itu jelas ada dan tidak terbantahkan lagi. Semua itu by design dan kita harus sada­ri bahwa siapa pun yang pegang bola atas politik dunia adalah mereka yang kuat secara ekonomi dan militer serta intelijen. Merekalah yang memain­kan bola. Ingat, bangsa yang besar adalah bangsa yang siap untuk bertem­pur. Bertempur dan menyerang adalah per­tahanan yang terbaik. Ini adalah konsep sepak bola yang diterapkan dalam bidang politik. Oleh karena itu, Amerika sela­lu mendahului karena ingin meme­nang­kan sebuah permainan atau­pun per­tempuran.

Bagaimana Anda melihat peran inte­li­jen kita dalam memberantas aksi terorisme?

Intelijen kita sudah disebar sedemi­kian rupa. Sebetulnya masalah terori­sme bukan hal baru, karena pada tahun 1994 sudah dibahas bersama de­ngan pejabat-pejabat keamanan Ame­rika. Di tahun 1994 belum ada bibit apa pun, akan tetapi terus didengung­kan untuk bagaimana melakukan kontra­te­ro­­risme, bagaimana mengguna­kan teknik propaganda untuk memben­dung opini dan lain sebagainya. Teroris­me yang terjadi saat ini sudah diper­hi­tung­kan. Intelijen membuat “kirka”, yaitu per­­kiraan keadaan. Kirka ini ada yang tahu­nan, lima tahunan, sepuluh tahu­nan, bahkan ada yang dua puluh lima tahu­nan.

Bagi negara yang sudah mengetahui “kirka” ke depan seperti apa, ia harus mem­persiapkan untuk mengantisipasi­nya. Di Indonesia pun sama, kita sudah melakukan hal yang sama. Hanya per­soa­lannya, Indonesia masih diliputi oleh awan kabut masalah ekonomi. Masalah eko­nomi ini sangat memberatkan. Hal ini membuat kita susah mengem­bangkan per­senjataan karena tidak ada dukung­an dana yang cukup. Radar-radar kita sudah usang. Begitu pula dengan sistem de­te­ksi dini (early warning), kita tidak bisa membeli yang baru karena harganya sangat mahal. Peralatan kita dibeli pada tahun 1975-an sehingga sudah sangat usang sekali, bahkan ada yang jadi bang­kai. Oleh karena itu, perlu ada pembaharuan labo­ra­­torium yang modern dan bisa dilakukan secara mandiri tanpa harus bergantung pada teknologi asing. Kita harus mem­buat sistem dan peralatan yang sesuai dengan kondisi geografis kita. Karena pera­latan kita sudah usang, maka hal ini meng­hambat kinerja dari aparat in­te­li­jen kita.

Bagaimana Anda menanggapi peng­gunaan laptop oleh Imam Samudra dalam penjara? Bukankah hal ini tidak per­­lu terjadi di penjara yang penja­gaan­­nya super ketat?

Sebetulnya penggunaan laptop oleh Imam Samudra disebabkan keteledoran sipir penjara. Sipir penjara kita ada ok­num-oknum yang bisa dibayar, seperti lolos­nya tahanan kelas kakap; Gunawan Santoso dan Edy Tansil, maupun yang kecil; lolosnya pengedar narkoba, masuk­nya narkoba ke dalam penjara, dan lain-lain. Ini merupakan tanda bahwa me­mang ada ok­num sipir penjara yang mem­punyai men­tal oportunis, mereka memanfaat­kan kedudukannya untuk keuntungan diri­nya sendiri, tanpa melihat efek lebih jauh, yaitu kepen­ting­an negara. Itulah sebabnya kita jangan bergerak setelah ter­jadi, semes­tinya semua itu bisa diantisipasi dan ditertibkan agar di kemu­dian hari tidak terjadi lagi. Misalnya pembenahan moral dan kesejah­teraan agar mereka tidak tergoda mene­rima uang yang merugikan kepen­ti­ngan negara.

Bukankah dengan adanya “kirka” apa­rat negara sejatinya bisa mencegah peris­tiwa seperti ini?

Indonesia sangat luas. Setelah UU Anti­subversi telah dihapus, maka tidak ada UU yang mampu menangkap kelom­pok teroris sebelum ada bukti. Inilah ala­san logis kenapa kita tidak sekuat Malay­sia dan Singapura memben­tengi diri dari serangan kaum teroris. Singa­pu­ra dan Malaysia mempunyai UU ISA (Inter­nal Security Act) yang mem­beri­kan kewe­na­ngan kepada negara untuk menang­kap tanpa diadili. UU Patriot X lebih gila lagi, memenjarakan orang tan­pa batas waktu. Indonesia, setelah refor­masi, jus­tru mempereteli semua perang­kat itu sehi­ngga menjadi lumpuh dari segi per­undang-undangan dan sampai sekarang belum ada peng­gantinya.

Setahun terakhir ini kita bersyukur karena bom tidak ada yang meledak di negeri ini. Apakah ini men­jadi tanda karena kelompok tero­ris melemah atau ada hal lain?

Kalau aparat siaga, mereka akan tiarap. Sekarang aparat melakukan penggerebekan dan penyerbuan secara besar-besaran, bahkan dengan mengikutsertakan TNI. Aparat keamanan aktif mela­kukan pengejaran dan pengen­dus­an terhadap daerah-daerah yang di­cu­ri­gai serta mengaktifkan kembali Babin­sa, Babinkatibnas, membekali RT/RW dengan pengetahuan yang cukup untuk me­lakukan pendeteksian dini andaikata di wilayahnya ada orang-orang yang di­cu­rigai adalah kelompok teroris. Itulah sebab­nya mereka banyak yang lari ke gunung. Berkat pengejaran dan pe­ngen­­dusan terhadap gerakan kelom­pok tero­ris, mereka untuk saat ini tidak bisa lelu­asa bernapas dan mengasingkan diri ke gunung untuk menghindarkan diri dari aparat kepolisian.

Tidak ada komentar: