Jumat, 11 Juli 2008

Dana Teroris Dicurigai Masuk Lewat Infak dan Zakat

Pengamat Intelijen:

Dana Teroris Dicurigai Masuk Lewat Infak dan Zakat

Oleh: Rafael Sebayang

Jakarta – Pengamat intelijen Wawan Purwanto mensinyalir dana teroris masuk melalui infak dan zakat. Untuk itu diperlukan pengawasan terhadap sumbangan-sumbangan dalam bentuk infak dan zakat itu.

Yang sangat kita khawatirkan adalah pengawasan terhadap sumbangan-sumbangan dalam bentuk infak dan zakat menjadi sumber dana baru mereka. Dana-dana tersebut sebenarnya halal namun digunakan oleh kelompok-kelompok mereka yang berkamuflase atas nama agama untuk melanggar hukum. Bagi teroris itu, dana itu ibarat darah. Kalau darahnya dibekukan, aktivitas-aktivitas mereka secara otomatis juga akan berhenti,” katanya ketika dihubungi SH, Sabtu (5/7) siang ini. Dia menyebutkan, terungkapnya kasus bom rakitan di Palembang, Sumatera Selatan, mengindikasikan adanya sumber pendanaan baru dalam upaya aksi teror di Indonesia.

Tertangkapnya sejumlah bendahara Jemaah Islamiyah (JI) di berbagai negara menjadikan sumber dana yang datang di bawah tangan dalam bentuk infak dan zakat memberikan darah segar bagi pelaku terorisme dalam menjalankan aksinya.

Dia menyatakan keberadaan peluru-peluru tajam yang menjadi satu kesatuan dalam satu rakitan bom merupakan hal yang baru dalam teknik perakitan bom anggota JI, khususnya bom-bom rakitan yang selama ini ditemukan atau meledak di wilayah Indonesia.

Terkait pendanaan, Wawan juga mengindikasikan adanya keterkaitan aksi-aksi perampokan, khususnya perampokan toko-toko emas yang terjadi di beberapa tempat akhir-akhir ini mengarah pada kelompok-kelompok terorisme. ”Itu memang arahnya ke sana,” katanya.

Menanggapi fakta baru di luar penangkapan sepuluh tersangka teroris di Sumatera Selatan yang menyangkut pelarian salah satu petinggi JI berkewarganegaraan Singapura, Mas Slamet Kastari, yang diinformasikan saat ini berada di Indonesia, Wawan masih mempertanyakan validitas informasi tersebut. Pasalnya, Kastari yang saat itu ditahan di penjara Singapura dalam kondisi diborgol tangan dan kakinya.

Di samping itu, ketika itu Kastari tidak mungkin meloloskan diri dari penjara yang ketat tersebut, karena mengalami patah kaki pada saat melarikan diri dari Polda Riau beberapa waktu lalu. ”Fakta-fakta ini memunculkan pertanyaan apakah Kastari benar sudah melarikan diri ke wilayah Indonesia atau mungkin masih berada di penjara Singapura atau bahkan sudah mati di sana,” katanya.

Pada kesempatan ini pula, Wawan mengingatkan agar masyarakat maupun penegak hukum, khususnya Polri, mewaspadai adanya politisasi dalam kasus ini.

Pindahkan Basis Jaringan

Kapolri Jenderal Sutanto di Mabes Polri, Jumat (4/7) siang, mengatakan fakta pengungkapan jaringan teroris di Malaysia mengindikasikan bahwa buron teroris nomor satu Noordin M Top telah memindahkan baris jaringannya dari Jawa ke Sumatera. Di samping itu, ada pengembangan teknik perakitan bom dari kelompok JI yang saat ini mengembangkan teknik perakitan bom dengan menggunakan peluru-peluru tajam.

Tentang keberadaan Slamet Kastari, Sutanto mengatakan pihaknya saat ini telah menyebar foto-foto Kastari ke seluruh Polda di Indonesia. Tujuannya agar masyarakat mengenali dan mengetahui ciri-ciri fisik yang bersangkutan,” katanya. Pihaknya telah memperketat penjagaan di wilayah-wilayah perbatasan di seluruh Indonesia khususnya wilayah Sumatera yang saat ini diduga menjadi salah satu basis pergerakan pelaku teror.

Wawan Purwanto juga mengingatkan, sasaran teroris saat ini sudah bergeser dari perjuangan demi jihad, beralih pada kehancuran ekonomi dan ideologi kekerasan. Indikasi ini terlihat dari penangkapan sepuluh tersangka teroris di Sumatera Selatan baru-baru ini yang mengaku akan meledakkan Kafe Bedudel di Bukit Tinggi, Sumatera Barat, karena banyak dikunjungi turis asing.

Hal ini sangat disayangkan, apalagi kondisi perekonomian dunia saat ini sedang kacau, harga minyak mentah dunia terus melonjak sehingga semua harga kebutuhan pokok ikut terkerek naik. ”Jadi dimana letak jihadnya? Sasaran mereka sudah bukan lagi jihad, tapi kehancuran ekonomi negara,” ungkap pengamat intelijen itu.

Para teroris itu hanya ingin mengesankan bahwa mereka tetap eksis, sehingga tidak memperhitungkan korbannya, yang penting menyerang, kata Wawan. Bukit Tinggi, terutama di kawasan jam gadang, memang menjadi tempat turis dan terdapat kafe yang banyak orang bulenya. Meskipun kelompok teroris yang ditangkap Densus 88 Antiteror di Palembang baru-baru ini mengaku batal meledakkan bom di Kafe Bedudel, Bukit Tinggi, karena belakangan menyadari bahwa para calon korban adalah warga setempat yang umumnya muslim dan bukan orang asing.

Menurut seorang perwira Polri yang menolak disebut namanya, di tempat itu sudah sempat dipasang tiga buah bom waktu, tetapi kemudian dibatalkan pada detik-detik terakhir dan teroris memutuskan akan memindahkan serangan ke Ibu Kota Jakarta. Namun menurut Wawan Purwanto, sepuluh tersangka itu ditangkap sekitar 20 Juni lalu, namun baru dipublikasikan Polri pada HUT ke-62 Polri, sebab untuk keperluan penyidikan.

Wawan mengingatkan pula bahwa dalam kondisi kemiskinan, teroris mudah masuk. ”Daripada melarat, sengsara, ya mendingan sahid saja,” lanjutnya sambil mengingatkan, masyarakat harus peduli pada lingkungannya agar tak mudah disusupi teroris.

Wawan juga menjelaskan, para teroris itu pindah ke Sumatera setelah diuber dari Poso, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Mereka membutuhkan rumah tempat pengamanan sehingga hidup berpindah-pindah. Penyamaran yang paling efektif menjadi guru dan santri, sambil melakukan perekrutan baru pada pemuda berusia rata-rata 20 tahun, tapi masih dari kelompok yang bisa dialihkan ke jihad.

Bali Dijaga Ketat

Aparat kepolisian di jajaran Polda Bali juga memperketat penjagaan di sejumlah pintu masuk Bali, seperti pelabuhan penyeberangan Gilimanuk, Padangbai, dan Bandara Ngurah Rai, guna mencegah masuknya kelompok teroris. Berdasarkan pemantauan SH, petugas dari Gegana, Densus 88/Antiteror Polda Bali dan Reskrim, serta Intel Polres Jembrana diterjunkan untuk pengamanan pelabuhan Gilimanuk yang menghubungkan Jawa-Bali ini. (wahyu dramastuti/cinta malem ginting)

Sinar Harapan, 05 Juli 2008

Rabu, 05 Maret 2008

State Walfare, Obat Mujarab Separatisme

Jakarta, myRMnews. Orientasi pemerintah yang cenderung menggunakan pendekatan teritorial dan keamanan dalam penyelesaian konflik separatisme selama ini dinilai sudah tak mempan lagi. Cara-cara berbau militeristik harus ditinggalkan.

Menurut pengamat intelijen Wawan Purwanto dalam diskusi “Meretas Jalan Reformasi” yang digelar kemarin, pendekatan teritorial dan keamanan seperti yang dilakukan pemerintah melalui alat negara, yakni TNI dalam menuntaskan isu-isu separatisme justru akan membuat pemerintah blunder.

"Jangan hanya menggunakan pendekatan teritorial dan keamanan, karena cara seperti ini sudah tidak efektif lagi," kata Wawan Purwanto.

Ditambahkannya, pendekatan territorial dan keamanan cenderung mengggunakan cara-cara kekerasaan sehingga aksi perlawanan dari kelompok-kelompok yang berseberangan dengan pemerintah pusat akan semakin keras. Konflik pun bertambah panjang dan tajam.

"Jika menggunakan dua pendekatan ini, separatisme bakal sulit hilang. Sebab, dari sudut pandang ide dan cita-cita separatisme susah untuk dihilangkan. Karena itu, sebaiknya pemerintah menggunakan pendekatan kesejahteraan, pemikiran, dan pendidikan,” papar Wawan.

Dengan begitu, separatisme bisa dikurangi karena tidak menggunakan cara-cara represif seperti yang sudah-sudah. iga

Sumber: http://www.myrmnews.com/situsberita/index.php?pilih=lihat_edisi_website&id=49206

Wawan Purwanto: Tragedi Semanggi Tak Selesai Dengan Peringatan

Metrotvnews.com, Jakarta: Pengamat intelijen dan luar negeri, Wawan H. Purwanto mengatakan Tragedi Semanggi tidak akan bisa terselesaikan dengan upacara peringatan saja. Ia menyarankan keluarga korban tragedi tersebut harus menempuh upaya hukum untuk menyelesaikan kasus ini. "Kalau secara hukum tidak ditempuh, hanya perayaan akhirnya terlupakan. Bangsa kita kan gampang lupa," ujarnya di tengah pelaksanaan peringatan tragedi tersebut di Jakarta, Sabtu (22/9).

Tragedi Semanggi menunjuk kepada dua kejadian pada masa transisi. Kejadian pertama dikenal dengan Tragedi Semanggi I pada 11-13 November 1998. Kejadian kedua dikenal dengan Tragedi Semanggi II pada 24 September 1999. Sejumlah orang tewas dan terluka termasuk mahasiswa dalam dua kejadian tersebut.(BEY

Sumber: http://www.metrotvnews.com/berita.asp?id=46052

Terorisme Dompleng Agama dan Kemiskinan

Jakarta-Terorisme yang menggunakan ajaran agama sebagai alat penyebarannya lebih berbahaya dari penyebaran ideologi. Bahkan, ditengarai penyebaran terorisme melalui kedok agama ini akan makin intensif di Tanah Air. Oleh karenanya, pemerintah dan kalangan pemimpin agama harus ekstrahati-hati menangani hal ini. Apalagi, penyebaran ajaran ini kerap mendompleng kondisi kemiskinan yang dialami masyarakat. Demikian dinyatakan oleh mantan Panglima Laskar Jihad Jafar Umar Thalib dan pengamat intelijen Dr Wawan Purwanto, dalam kesempatan terpisah, Senin (19/3).

”Kelompok teroris ini sangat licik karena mereka menipu ajarannya dengan diberikan label-label Islam. Soal pendanaan kelompok ini akan melakukan apa saja termasuk perampokan akan dinyatakan halal dengan dalih demi Islam,” tukas Jafar Umar.

Jafar menjelaskan kekerasan yang terjadi di Poso dan Ambon adalah wujud dari keinginan teroris menyebarkan ajarannya. Ia pun menuding adanya kelompok tertentu yang bertameng di balik dalil “penegakkan syariat Islam” untuk menyebarkan ajaran bernuansa terorisme yang tak sejalan dengan nilai-nilai Islam.

“Kelompok ini sangat licik karena memperalat agama untuk tujuan tersembunyi. Rata-rata orang Islam di Indonesia sebenarnya tidak bisa menerima ajaran kekerasan yang dikembangkannya, tapi dalam jangka panjang, ajaran seperti ini tidak mustahil akan diterima meski sangat terpaksa,” katanya.

Sementara itu, pengamat intelijen Dr Wawan Purwanto menjelaskan, maraknya teror melalui pesan pendek (SMS) yang kini melanda Jakarta dan sejumlah daerah adalah upaya uji coba kegiatan terorisme di sejumlah wilayah di Indonesia. Wawan mengingatkan, ancaman terorisme tersebut sebenarnya bisa diprediksi oleh aparat keamanan dan kalangan intelijen. “Kegiatan itu bisa diukur, biasanya terkait dengan ulang tahun aksi teror, yang jatuh pada bulan April,” jelasnya. (rikando somba)

Sumber: Sinar Harapan, 20 Maret 2007

Indonesia Tidak Boleh Anggap Ringan Ancaman Teror Pada Bulan Ini

Pengamat Intelejen, Wawan Purwanto :

Indonesia Tidak Boleh Anggap Ringan Ancaman Teror Pada Bulan Ini

Dewi Rahmawati - Jakarta, Indonesia tidak boleh menganggap ringan isu ancaman teror pada bulan April ini yang merupakan sinyalemen dari Australia.

Hal tersebut diungkapkan Pengamat Intelejen, Wawan Purwanto dalam sebuah diskusi di Gedung Jakarta Media Centre (JMM), Kebon Sirih Jakarta Pusat, Sabtu (1/4) malam ini.

Ia mengatakan, data dari luar negeri tidak selalu akurat, seperti rumor akan terjadinya ledakan di Hilton Surabaya, Jakarta dan Bali beberapa waktu yang lalu, namun Indonesia tidak boleh menganggap enteng rumor ancaman teror di bulan April yang merupakan sinyalemen dari Australia.

Wawan menjelaskan, pihak asing yang memperingatkan warga negaranya itu merupakan kewajiban bagi mereka, akan tetapi aparat kepolisian RI sudah mempunyai analisis sendiri dan saat ini sudah melakukan Blocking Plan A, Plan B dan Plan C.

Berdasarkan analisis yang dilakukannya, Wawan mengungkapkan, daerah potensial yang menjadi ancaman teror adalah Jakarta, Bali, Semarang dan Surabaya.

Lebih lanjut Wawan menambahkan, teroris tersebut bergerak memanfaatkan situasi dan mereka bergerak justru menciptakan alibi-alibi. "Alibi itu merupakan momen yang tepat bagi teroris untuk mengais di air keruh," tambahnya. (dir)

Sumber: http://www.elshinta.com/elshinta/readnews.htm?id=27353&i=36&qr=

Indonesia Sudah Sangat Membutuhkan UU Intelijen

Indonesia sudah sangat membutuhkan UU Intelijen karena kondisi negara yang rawan ancaman terorisme dan tindakan destruktif lainnya.

"Kebutuhan UU Intelejen sudah sangat mendesak karena jika menunggu sesuai aturan yaitu diajukan pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebelum 2007, maka UU Intelijen itu baru 2009 dapat kita memiliki," kata pengamat masalah intelijen Wawan Purwanto di Jakarta, Jumat.

Alasannya, jika rancangan UU tersebut diajukan pada 2007 maka pembahasannya pada 2008 dan baru pada 2009 bisa diberlakukan. Sementara kondisi di lapangan sudah sangat memerlukannya mengingat potensi konflik serta aksi terorisme terus mengancam.Dia menilai jika memungkinkan pada akhir 2005 hendaknya sudah bisa ditetapkan untuk membahas konsep (draft) RUU yang sudah ada pada tahun 2006.

Dia menjelaskan aturan hukum (Keppres) yang dimiliki Indonesia masih sangat lemah, terutama jika dibandingkan dengan "Patriot Act" di Amerika Serikat dan UU sejenis di Inggeris dan Australia, termasuk "Internal Security Act" (ISA) Malaysia."Patriot Act" memiliki wewenang menahan seseorang yang diduga teroris hingga tiga tahun, ISA bisa menahan hingga dua tahun, sementara BIN Indonesia tidak mempunyai wewenang untuk menangkap tersangka.

Ketika ditanya tentang kelayakan Indonesia untuk kembali ke UU Antisubversif, Wawan mengatakan tidak demikian karena pada UU Subversif ada pasal-pasal "karet" yang bisa berdampak negatif."Kita memerlukan UU Intelijen yang lugas yang menjelaskan hak dan wewenang badan intelijen untuk mencegah terjadinya aksi teroris dan aksi lainnya yang merugikan dan mengancam negara," katanya.

Dia menjelaskan, saat ini aparat intelijen gamang untuk bertindak karena khawatir menghadapi tuduhan melanggar Hak Asasi Manusia."Akibatnya, aparat intelijen menjadi skeptis," katanya. Ketika ditanya, perlunya melibatkan orang-orang yang benar-benar mengenal dunia intelijen dalam penyusunan UU Intelijen, Wawan mengatakan memang sebaiknya demikian, karena pemerintah dan DPR tidak bisa hanya mengandalkan kalangan akademisi yang tidak mengetahui medan intelijen Indonesia yang sesungguhnya dan perkembangan dunia intelijen dunia.

"Juga jangan sampai ada tuduhan bahwa masukan dari para penyusun UU Intelijen itu adalah pesanan dari pihak luar (asing) yang justeru membuat UU Intelijen itu tidak efektif."Dia menyebut sejumlah nama yang layak dipertimbangkan sebagai narasumber, yakni Wirawan Soekarno (dedengkot intelijen)dan Bom Suryanto (mantan orang intelijen).Wawan Purwanto juga termasuk salah seorang penyusun "draft" intelijen pada 2003.

Menurut Wawan yang juga dosen Sekolah Intelijen Indonesia, "draft" yang disusunnya kini sudah jauh berbeda.Beberapa hal yang menjadi polemik dari "draft" tersebut adalah kewenangan menangkap dan pengadaan senjata. Dalam dunia intelijen kewenangan menangkap, yang dimiliki sebagian besar lembaga-lembaga intelijen di dunia, merupakan upaya preventif.

Dalam kondisi seperti ssekarang, dia menilai pemerintah dan DPR perlu memperkuat lobi antar pihak terkait agar UU Intelijen segera dibahas dan diundangkan.Sebelumnya, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar mengatakan pemerintah dan DPR sudah saatnya membahas RUU tersebut agar kinerja lembaga tilik sandi itu semakin optimal, khususnya dalam upaya deteksi dini dan pencegahan aksi terorisme. ant/mim

29 Nopember 2005

sumber: http://www.ham.go.id/index_HAM.asp?menu=artikel&id=651

Selasa, 04 Maret 2008

Menguak Tabir Terorisme di Indonesia

Tertangkapnya Abu Dujana alias Yusron Mahmudi alias Mahfud dan Zarkasih—dua tersangka dari sembilan orang yang sejak lama men­jadi target aparat kepolisian—menarik perhatian publik. Pasalnya, Abu Du­jana dan Zarkasih adalah sosok yang berbahaya karena kepia­waian­nya memimpin jaringan terorisme, sehingga mereka diyakini lebih ber­ba­haya daripada Noordin M. Top. Abu Dujana yang bertindak sebagai pang­lima militer (laskar askary) dan Zarkasih adalah Ketua Jamaah Islami­yah wilayah Asia Tenggara. Kedua orang ini dianggap terlibat kasus Bom Bali I pada 12 Oktober 2002; bom Hotel JW Marriott pada 5 Agustus 2003; serta kantor Kedutaan Besar Australia pada 9 September 2004. Penangkapan para tersangka terorisme itu menunjukkan bahwa jaringan terorisme di Indonesia masih eksis dan tak pernah berhenti untuk melakukan tindakan teror berikutnya. Solidnya jaringan terorisme dan terus bergenerasi tentu saja akan terus mengganggu keamanan nasional. Apakah penangkapan Abu Dujana ini akan menjadi titik terang untuk membongkar jaringan teroris yang diduga ada di negeri ini? Benarkah me­reka yang tertangkap terlibat aksi-aksi terorisme seperti yang ditu­duh­kan polisi? Benarkah Abu Dujana lebih berbahaya daripada Noordin yang hingga kini belum tertangkap? Guna membahas masalah ini, pada tanggal 20 Juni 2007 Center for Moderat Muslim (CMM) bekerja sama dengan Radio Republik Indonesia (RRI) menggelar dialog interaktif deng­an nara sumber Wawan H. Purwanto, seorang pengamat intelijen. Berikut petikannya.

Bagaimana Anda melihat fenomena terorisme dewasa ini, baik dalam skala nasional maupun internasional?

Terorisme adalah masalah lama dan tidak akan dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat karena akar­nya tidak tercabut. Karena itu, Tertang­kap­nya Abu Dujana, bukanlah akhir tero­risme di negeri ini. Walaupun, misalnya, Noordin M. Top juga tertangkap, aksi te­rorisme akan tetap ada di negeri ini. Per­masalahannya tidak terletak di kedua orang ini, tapi adanya ketidakadilan. Ketid­akadilan global memang menjadi salah satu unsur yang membuat aksi te­ror berkembang biak. Permasalahan ini ber­mula dari ketidakadilan yang diteri­ma oleh para pejuang di Afganistan. Para pejuang ini berjibaku mengusir Uni Soviet dari Afganistan dengan bantuan penuh Amerika. Para pejuang ini dididik teknik-teknik militer oleh pelatih militer handal dari Amerika dan CIA. Pasca run­tuh­nya Uni Soviet, para pejuang ini ber­balik menjadi lawan Amerika karena per­be­daan kepentingan. Dari sanalah kon­flik ini bermula kemudian bertambah runyam saat Amerika mendukung Israel seca­ra membabi buta, menyerbu Afga­nis­tan, dan juga Irak.

Bukankah Indonesia tidak ada hubungannya dalam masalah ini. Kenapa Indonesia kemudian dijadikan ajang teror?

Permasalahan ini merembet ke Indo­­nesia karena memang ada yang menye­ret permasalahan ini. Para pelaku teror ini menjadikan Indonesia sebagai dar al-harb (medan pertempuran), dengan alasan jika mereka berhadapan seca­ra langsung dengan Amerika maka mere­ka akan kalah. Karena itu, mereka meng­gunakan taktik hide and run (sem­bu­n­yi dan lari). Hide and run itu terjadi di negeri kita dan ternyata aksi mereka tidak ditujukan langsung kepada lawan tetapi kepada orang-yang tidak tahu-mena­hu, meskipun mereka orang asing. Tapi orang asing yang tidak berkait lang­sung dengan persoalan mereka. Saat ini ma­syarakat dunia merindukan tatanan dunia yang damai, sayangnya keinginan ini tidak tercapai karena ulah para pene­bar teror ini.

Tadi anda menyebutkan bahwa ada suatu ketidakadilan, ketidakadilan seper­ti apa yang anda maksudkan?

Perilaku yang menyimpang, seperti yang sekarang ini terjadi di Timur Tengah. Istilahnya “Asu Gede Menang Keray”, anjing yang besar jika berkelahi pastilah menang. Kelompok yang kecil yang merasa terpinggirkan, merasakan bahwa kepentingannya tidak terakomo­da­si sehingga dicarilah cara-cara non­kon­ven­sional untuk menyuarakan aspirasi dan tuntutan mereka yang selama ini mera­sa tertekan dan terpojok. Mereka juga mengarahkan kebencian mereka dalam bentuk teror. Inilah yang saya sebut rasa ketidakadilan dan adanya per­mu­suhan yang direkayasa oleh kelompok kuat terhadap kelompok yang lemah demi suatu kepentingan. Hal ini kemu­dian bermuara pada aksi-aksi teror, baik beru­pa bom maupun psikis.

Apakah kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di Indonesia berkaitan dengan kelompok ini?

Indonesia sejak tahun 1998 berada situa­si kacau. Kekacauan ini bermuara pada masalah sara. Permasalahan sara kemu­dian dijadikan ajang balas dendam yang pada akhirnya berbuntut pada masa­lah agama. Kelompok yang bertikai mena­rik agama ke dalam arena konflik guna menarik dukungan dari umat ber­aga­ma. Dari konflik bernuansa agama inilah kelompok teror ini masuk dan men­jadikan Indonesia sebagai ajang per­tempuran mereka yang membuah aksi teror di negeri ini. Aksi teror di Indo­ne­sia begitu panjang karena didalamnya sudah terlapus dendam. Inilah yang seka­rang ini kita hadapi dan inilah yang menjadi PR kita bersama.

Apakah aparat keamanan tidak bisa menyelesaikan masalah ini?

Pendekatan keamanan atau milite­ri­s­­tik tidak mampu menyelesaikan masa­lah. Karena aparat keamanan hanya bisa me­nye­lesaikan seperenam masalah, lima seper­enamnya lagi diselesaikan secara bersama-sama. Karena itu, saya menya­ta­kan tekanan-tekanan yang sifatnya pe­negakkan hukum saja ternyata tidak cukup untuk menghentikan cita-cita mereka, karena cita-cita itu tidak mati hanya karena meninggalnya mereka atau tertangkapnya.

Lantas, apa yang mesti dilakukan pemerintah?

Membenahi masalah ekonomi, menanamkan pemahaman agama yang benar, menegakkan keadilan dan supre­ma­si hukum, dan juga mem­be­nahi akh­lak para politisi kita. Saat ini, ada kelom­pok-kelompok yang meman­faat­kan isu terorisme untuk mengusung kepen­tingannya.

Yang anda maksud isu politik dalam negeri?

Ya, politik dalam negeri dan politik global. Kita tahu bahwa sebetulnya ada kepentingan luar negeri yang tidak ingin Indonesia ini aman dan stabil. Karena kalau Indonesia stabil, dianggap sebagai anc­aman karena Indonesia adalah negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia. Instabilitas Indonesia inilah yang mereka harapkan. Karena negara yang tidak stabil tidak akan mengalami pertumbuhan sehingga tidak mempu­nyai nilai jual di mata masyarakat inter­na­sional. Inilah sebabnya ada usaha-usaha untuk menggoyang pemerintah agar instabilitas tetap terjaga sehingga Indo­nesia tidak akan berkembang. Dan pemerintah sibuk mempertahankan posisinya sehingga agenda pembangun­an dan pemberdayaan masyarakat men­ja­di buyar. Orang yang menskenario ini sudah tahu bahwa ada sebagian dari kita bisa dibeli dan dibenturkan dengan ke­lom­pok lain guna menciptakan instabi­li­tas. Para “penggadai bangsa” ini ada di mana-mana, baik di birokrasi maupun yang berada di DPR, LSM, masyarakat mau­pun kekuatan-kekuatan yang saya sebut dengan 5M.

Apa yang Anda maksud dengan 5M?

5M itu adalah mahasiswa, Muslim, media masa, militer dan money. 5M ini­lah yang akan digoyang terus menerus untuk menciptakan lini-lini yang ber­ben­turan dan berbau teror. Kelompok Muslim adalah kelompok yang paling efek­tif untuk digoyang karena ada picu yang bisa dipakai yaitu dengan atau mela­lui kelompok teroris.

Anda sudah melihat sejauh itu, tapi apakah aparat inteligen kita melihat seperti yang anda lihat?

Sebetulnya inteligen kita sudah me­lihat itu secara jeli. Dari beberapa pa­par­an di DPR, antara aparat dengan DPR, hal ini sudah terungkap dan disam­pai­kan. Ini merupakan early warning. Semuanya sudah tahu, yang terpenting adalah problem solving-nya. Banyak di antara kita yang tidak berpikir masalah problem solving, kalau problem solving tidak terselesaikan maka hal ini tidak akan terpecahkan. Karena itu, saya men­­duga akan terjadi kerusuhan yang lebih dalam dan negeri ini akan carut marut. Dan saya menduga adanya Bal­ka­ni­sasi di Indonesia.

Apa solusi yang Anda tawarkan agar tidak terjadi Balkanisasi di negeri ini?

Mempererat persatuan dan saling percaya. Kita tidak bisa memasrahkan masa­lah ini kepada aparat keamanan saja. Karena aparat keamanan tidak bisa me­nyelesaikan masalah secara kese­lu­ru­han. Seluruh komponen bangsa harus juga ikut berperan. Kita juga harus me­nye­lesaikan masalah secara holistik, tidak parsial.

Pendekatan Holistik seperti apa?

Kerusuhan atau bentrokan yang terjadi di masyarakat tidak bisa hanya dipecahkan dari sudut keamanan saja. Perlu juga pembenahan-pembenahan dari sisi ekonomi, misalnya menghapus kesenjangan ekonomi yang begitu dalam terjadi di negeri ini. Karena salah satu akar masalah di negeri ini yang sam­pai saat ini tidak tertuntaskan adalah ke­senjangan yang akut antara si miskin dan si kaya. Saat ini, dilihat dari sisi eko­no­mi makro, kita memang bagus. Tapi mikro ekonomi kita, kelimpungan. Pa­da­hal mikro ekonomi inilah yang lang­sung dampaknya terasa oleh masya­ra­kat. selain itu, kita harus pahami, masya­rakat yang tinggal di daerah-daerah kantong kemiskinan sangat mu­dah dihasut oleh kelompok-kelompok ter­tentu untuk melakukan tindakan-tin­dakan yang tidak baik, termasuk aksi tero­risme dengan menyelewengkan ajaran agama. Jadi saat ini ada Snouck Hurg­ronje-Snouck Hurgronje baru yang me­nyelewengkan ajaran agama untuk men­dukung kepentingan mereka. Kita harus sadari bahwa kemiskinan ini ada­lah incaran empuk di-brainwash (cuci otak).

Bisa Anda berikan contohnya?

Saya sudah melakukan penelitian-penelitian tentang masalah kemiskinan dan aksi terorisme. Misalnya Hari Golon yang tewas dalam bom JW Mariot. Bapak­nya adalah seorang kuli panggul di sebuah pelabuhan dan ia punya utang 150 ribu saja tidak bisa bayar. Akhirnya hu­tangnya dibayari dan ia melakukan aksi di JW Marriott. Kondisi ekonomi yang demikian membuat seseorang sangat mudah jatuh dalam aksi tero­ris­me. Hal ini yang harus kita sadari dan per­lu secepatnya kita atasi. Itu sebabnya saya sekarang ikut membina ekonomi pesantren. Saya mulai mem­bina dari usaha kecil menengah di berba­gai daerah yang menjadi kantong-kan­tong kemiskinan. Mereka saya berikan dorongan yang sifatnya managemen dan saya dorong dari sisi mitra, modal, moti­vasi, dan patnership-nya, termasuk mar­ket yang saya ciptakan. Itulah sebabnya, cara mengatasi kemiskinan ini tidak bisa dilakukan sendirian. Karena itu, saya men­coba menggandeng banyak pihak mulai dari NU, Muhammadiyah, Majelis Ulama, Depag dan Pemda. Kalau bangsa Indo­nesia sudah makmur maka sangat sulit untuk dipengaruhi. Inilah yang menjadi PR kita bersama.

Bagaimana Anda melihat sosok Abu Dujana, benarkah ia lebih berbahaya daripada Noordin?

Pengalaman Abu Dujana sangat luas. Abu Dujana mempunyai pengalaman tempur yang luas di Afganistan, ia cepat menyerap pelajaran-pelajaran infantri, dan pengalaman ia selama melakukan operasi petempuran di daerah terbuka di Afganistan memang cukup teruji. Prestasi inilah yang menyebabkan abu Dujana mempunyai kesempatan untuk langsung ketemu, misalnya, dengan Osama (selain itu, Abu Dujana mengua­sai empat bahasa; Sunda, Indonesia, Arab, dan Inggris-red). Abu Dujana di bidang managemen dan taktik bertem­pur secara terbuka. Kalau Noordin M. Top, ia bertugas mencari pengikut atau mem-brainwash, disamping ia juga ahli dalam pembuatan bom seperti Azhari. Kalau kita lihat, merakit bom itu tidaklah sulit, yang terpenting bahan bakunya cukup, detonatornya ada. Abu Dujana lebih mengusai dari segi strategi ketim­bang Noordin yang lebih cendrung pada hal-hal yang sifatnya brainwash.

Apakah Noordin dan Abu Dujana ini adalah dalang di balik aksi teror di Indonesia?

Saya melihat mereka juga operator lapangan, meskipun Noordin posisinya lebih rendah dari Abu Dujana. Tetapi semua­nya ini taktik dan strategi harus ada di satu tangan, di mana tangan pe­ngen­dalinya ini ada ditangan Abu Dujana. Kita harus hati-hati bahwa mereka tidak akan mengungkap semua. Saya cuma melihat beberapa indikasi. Per­tama, dengan tidak melakukan bom bunuh diri dan tidak melakukan hara kiri, saya melihat militansinya sudah menurun. Kedua, informasi tidak akan kita dapatkan dari Abu Dujana tidak mungkin seratus persen. Maksimal kita bisa mendapat informasi empat puluh persen dan enam puluh persennya lagi disembunyikan oleh Abu Dujana. Enam puluh persen inilah yang meliputi dari dua pertiga dari kekuatan mereka yang sampai saat ini belum terungkap. Karena itu ancaman teror masih mengintai kita.

Setelah Abu Dujana tertangkap, menurut Anda, apa yang dilakukan kelompok pelaku teror ini saat ini?

Saat ini mereka sedang tiarap. Barangkali dalam tempo 3 bulan mereka akan menghilang dan menghilangkan jejak serta akan menghapus kontak-kon­tak person, terutama dari elektronik. Penghilangan jejak ini adalah upaya-upaya untuk melakukan mengelabui aparat dan mereposisi rencana mereka yang tidak dilakukan. Misalnya mereka mempunyai rencana A, B, berubah ke rencana C. Abu Dujana memang membe­ber­kan posisinya, tapi menyangkut posisi Noordin, saya kira ia tidak akan membukanya. Dan inilah yang mesti harus diperhatikan oleh aparat.

Apa tanggapan Anda dengan tindakan pemerintah Australia mem­bocorkan penangkapan Abu Dujana?

Australia tidak etis dan ini sangat kita sesalkan bisa terjadi. Pihak Australia sudah membocorkan kepada publik bahwa Abu Dujana telah tertangkap sebelum aparat kepolisian kita menga­bar­kannya ke publik. Hal ini sangat meru­gikan pihak kepolisian, karena penang­kapan Abu Dujana memang sengaja ditutup-tutupi oleh aparat kepo­lisian kita. Kita harus mengerti bahwa tidak dalam setiap operasi penang­kapan harus terbuka. Seperti yang terjadi di Thailand. Aparat Thai­land terlibat saling menembak dengan tero­ris. Kemudian pemerintah Thailand mengumumkan bahwa bahwa teroris telah terbunuh semua. Padahal kenya­taan­nya tidak demikian. Ini dilakukan seba­gai upaya deception (muslihat/tipuan), sehingga lawan-lawan yang belum tertangkap tidak lari. Strategi ini­lah yang dipakai oleh aparat kita. menyem­bunyikan penangkapan Abu Dujana agar yang teman-teman Abu Dujana tidak kabur.

Jadi, lebih tepat Abu Dujana ini disebut sebagai tokoh utama dibanding dengan Noordin M. Top. Begitu menu­rut Anda?

Abu Dunaja bukanlah tokoh utama, tapi kedudukannya lebih tinggi dari Noordin. Nantinya kita akan bertemu dengan Abu Dujana-Abu Dujana baru karena dalam sebuah akademi, tidak hanya mendidik satu dua orang murid. Tapi mempunyai banyak murid. Dan alumnus akademi ini telah menyebar ke berbagai penjuru bumi. Karena itu, tertangkapnya Abu Dujana bukanlah akhir dari terorisme. Memang saat ini yang paling menonjol adalah Abu Dujana, tapi teman-teman sealmamater bisa mengembangkan diri mereka sehingga kualitas mereka menyamai atau melebihi Abu Dujana nantinya.

Australia adalah pihak yang pertama kali mengungkapnya tertang­kap­nya Abu Dujana kepada publik. Dari sini kemudian muncul anggapan bahwa penangkapan Abu Dujana adalah pesanan asing. Tanggapan Anda?

Selama ini telah terjalin kerjasama antara negara-negara ASEAN dengan Australia. Tidak hanya dalam peralatan, tapi juga dalam tukar-menukar infor­masi. Hanya persoalannya, informasi ini ada yang bisa dibuka kepada publik atau tidak. Dalam kasus Abu Dujana, pihak Australia yang pertama kali memberi­ta­hu­kan kepada publik. Ini hanyalah masa­lah koordinasi yang kurang baik. Bukan penangkapan Abu Dujana adalah pesan­an Australia.

Koran Tempo pada tanggal 20 Juni memberitakan bahwa peranan satelit Amerika sangat berperan dalam mem­bantu Polisi Federal Australia mengen­dus keberadaan Abu Dujana melalui signal HP-nya. Kenapa Polisi Federal Australia bisa terlibat?

Karena penangkapan Abu Dujana adalah operasi bersama aparat kepolisi­an kita dengan Australia. Operasi ber­sama ini telah terjalin lama. Saat me­nang­kap Imam Samudra, pihak Australia juga ikut kerja bareng dan memberikan bantuan peralatan pelacak signal. Bantuan alat pelacak signal ini sangat membantu aparat dalam menangkap Imam Samudra. Waktu itu, semua aparat keamanan lari ke Bekasi, tiba-tiba diberi tahu bahwa Imam Samudra membuka handponenya di Merak. Kemudian apa­rat berputar ke arah Merak dan mela­ku­kan penghadangan di sana sehingga Imam Samudara bisa tertang­kap. Dari sini kita harusnya sadar bahwa antara apa­rat kita dengan Australia telah terjalin hubungan yang lama. Karena itu, kita tidak bisa menyatakan bahwa pe­nan­gkapan Abu Dujana pesanan pihak asing. Sebenarnya, tertangkapnya Abu Du­jana pada hari Sabtu kemudian Australia langsung mengumumkannya adalah untuk konsumsi publik Australia. Hanya, persoalannya pihak Australia tidak terlebih dahulu mengkoordinasi­kan­nya dengan aparat kita. Karena apa­rat kita tidak mau melansir penangkapan Abu Dujana ke publik sebagai strategi agar para tersangka lain tidak kabur. Jadi, ini hanya masalah koordinasi dan mis-komunikasi saja.

SMS Interaktif

Bapak Makruf, Jambi

Polisi tidak becus menangkap Noordin M Top, karena itu mereka lantas mengatakan Abu Dujana lebih berbahaya dari Noordin. Tanggapan Anda?

Dilihat dari struktur kepengurusan (JI-red) Abu Dujana lebih tinggi posi­sinya dari Noordin. Kalau saya lihat, penang­kapan Noordin hanyalah masalah waktu. Pada waktu penangkapan Dr Azahari di Batu, Malang, sebenarnya aparat juga mau menangkap Noordin. Saat itu, aparat tidak segera menyergap karena ingin Azahari dan Noordin keduanya berada di dalam rumah agar bisa ditangkap secara bersamaan. Tapi, kurir yang disuruh ke Semarang untuk menemui Noordin, ternyata balik arah dan kembali ke Batu. Kemudian aparat menyim­pulkan bahwa informasi penang­ka­pan telah bocor dan memutuskan untuk segera menangkap Azahari walau­pun Noordin tidak bersamanya karena lebih baik menangkap satu orang dari pada tidak sama sekali.

Noordin sampai saat ini masih selamat dan ia bergerak ke mana-mana. Polisi sudah mengejarnya sampai ke Banjar Negara tapi ia lari ke gunung. Noordin juga sempat “lari-lari siang” di daerah Magelang, Yogyakarta, sampai ke Jawa Timur kemudian ia balik lagi ke Banyumas. Sekali, menurut saya, penang­kapan Noordin hanyalah masalah waktu saja.

Abu Bakar Ba’asyir sempat dituduh sebagai dalang di balik Bom Bali I. Tapi pengadilan memutuskan Ba’syir tidak terlibat. Mungkinkah posisi Noordin seperti Ba’asyir. Ia dituduh melakukan aksi pemboman yang tidak pernah ia lakukan.

Kita ingin menyelesaikan masalah ini di Pengadilan. Kita juga menghimbau Noordin, dari pada terus “lari-lari siang” lebih baik menyerah dan diselesaikan di pengadilan. Kalau memang ia tidak ber­salah, ungkaplah buktinya di peng­adilan sebagaimana Ustad Abu Bakar Ba’asyir yang terbukti di penga­dilan tidak ber­salah dan hanya me­la­ku­kan pelanggaran keimigrasian. Kalau penga­dilan tidak menemukan bukti bahwa Noordin ter­li­bat dalam aksi tero­risme di Indonesia, tentu ia akan men­jadi orang bebas. Kita ingin menjer­nih­kan masalah.

Tapi yang perlu kita garisbawahi, penangkapan-penangkapan yang di­la­ku­kan oleh aparat juga harus berdasarkan prosedur. Penangkapan-penangkapan yang menyalahi prosedur justru menodai prestasi aparat keamanan. Karena itu, kita menghimbau aparat keamanan melakukan pembenahan-pembenahan. Meskipun demikian, kita harus menyadari bahwa dalam sebuah operasi terkadang kecepatan sangat dibutuhkan. Daripada mengepung dulu untuk membuat surat penangkapan kemudian lolos, bukanlah lebih baik di­tangkap terlebih dahulu. Tapi surat pe­­nang­kapan tetap harus diserahkan dalam 7 X 24 jam sebagaimana aturan yang berlaku. Hal ini bisa memberi pelajaran kepada masyarakat bahwa negeri adalah negeri hukum. Karena itu, penyelewengan dari prosedur harus di­mi­ni­­malisir agar pembelajaran taat hukum kepada publik bisa membawa dam­pak yang lebih baik. Aparat bisa saja ber­kilah bahwa penyelewengan mereka dilakukan untuk memberikan perlin­dung­an publik yang lebih luas. Alasan ini memang benar, tapi pembelajaran kepa­da publik untuk taat aturan juga perlu mendapatkan perhatian.

Bapak Samsul, Klender, Jakarta

Menurut Menhankam Juwono Sudarsono, selama kemiskinan dan pengang­guran di Indonesia merajalela, maka Indonesia adalah ladang subur bagi persemaian benih-benih teroris­me. Karena kemiskinan mengakibatkan orang frustasi sehingga gampang ter­jebak dalam aksi-aksi teror. Di Singa­pura, Malaysia, dan Brunei Darussalam tidak ada teroris karena negara-negara tersebut adalah negara makmur. Tanggapan Anda?

Memang tingkat pengangguran di Indonesia sangat tinggi. Ada 41,9 juta pengangguran. Angkatan kerja menca­pai 100,8 juta, sementara pertumbuhan eko­nomi mencapai 5 atau 5,5 persen. Pertumbuhan ekonomi 1 persen bisa me­nyerap 200-300 ribu orang. Dengan per­tumbuhan ekonomi hanya 5 persen, maka angkatan kerja yang tertampung hanya satu juta angkatan kerja. Besar­nya angka pengangguran memang men­jadi persoalan tersendiri dan menjadi lahan empuk terjadinya aksi teror.

Apakah hanya faktor kemakmuran yang menyelamatkan Singapura dan Malaysia dari aksi terorisme?

Saya kira tidak. Kemakmuran hanya­lah salah satu faktor dari beberapa fak­tor yang menyelamatkan Singapura dan Malaysia dari aksi terorisme. Singapura dan Malaysia mempunyai UU Internal Security Act (ISA). Berdasarkan UU ini, mereka bisa menangkap dan memen­ja­ra­kan selama dua tahun orang yang terindikasi terlibat dalam aksi terorisme tanpa pengadilan. Sedangkan pemerin­tah Indonesia tidak bisa berbuat demi­kian. Semenjak UU Anti Subversi dica­but, pemerintah tidak mempunyai pa­yung hukum untuk melakukan itu. Peme­rintah hanya bisa mengawasi orang-orang yang disangka terlibat dalam aksi terorisme. Orang dipenjara bisa lolos, apalagi hanya diawasi. Ini yang menjadi salah satu permasalahan yang dihadapi bangsa ini dalam meng­amankan Indonesia dari ancaman teror.

Kalau Indonesia, misalnya, sudah mem­punyai hukum ISA seperti di Malay­sia dan Singapura, apakah kemis­kinan tidak perlu diberantas untuk meng­amankan Indonesia dari aksi teror?

Tidak seperti itu, kemiskinan juga harus diatasi guna memberantas aksi teror. Saya ingin ada kebersamaan. Kalau saya membina ekonomi pesantren dan UKM-UKM, saya harap yang lain mela­kukan hal yang sama agar kita bisa segera terbebas dari kemiskinan yang men­jadi salah satu sumber aksi-aksi tero­risme. Saya sekarang membina 500 UKM. 70 persen jalan, sementara yang 30 persen lainnya terseok-seok. Seka­rang saya coba masuk dalam ekonomi pesan­tren dan saya lakukan pembinaan-pembinaan. Saya mengajak berbagai orga­nisasi massa dan juga pemerintah untuk melakukan hal ini. Saya ingin ada ketulusan melangkah bersama ke arah sana. Hal ini tidak bisa dilakukan dengan bersifat politis, lips service atau hanya untuk menunjukkan kepedulian semata. Jadi, kita membutuhkan tekad bersama untuk memberdayakan ekonomi rakyat. Sekecil apa pun hasilnya, kalau dilaku­kan bersama-sama dengan memberi con­toh dan memberikan motivasi kepada masya­rakat untuk bangkit dari kemis­kin­an, insya Allah kita akan berhasil meng­ubah kantong-kantong kemiskinan men­jadi kantong-kantong kemakmuran.

Kenapa Malaysia dan Singapura bisa menjadi negara Makmur, sementara kita tidak?

Masalahnya terletak pada jumlah penduduk. Singapura penduduknya ber­jumlah 4 juta, sementara Malaysia ber­jum­lah 17 juta. Sedangkan negera kita, jumlah penduduknya 220 juta. Dengan jum­lah penduduk sebanyak ini, membe­ran­tas kemiskinan di negara ini tidak semu­dah membalikkan telapak tangan. Selain jumlah penduduk yang banyak, 80 persen penduduk negeri hanya meng­enyam pendidikan dasar. Angka kemiskinan di negeri ini sangat menyedihkan. Sementara itu, sebagian dari kita yang mempunyai duit lebih menyimpan uangnya di Singapura yang mencapai jumlah Rp 670 Trilyun. Ini sangat ironis sekali.

Bisakah kita mengatakan mereka ini tidak nasionalis?

Benar. Dari sisi nasionalisme, sangat bertolak belakang sekali. Kalau kita sendiri tidak berusaha mengatasi kemiskinan, apalagi investor. Kita ber­ha­rap agar para investor masuk ke negeri ini, sementara uang kita sendiri disim­pan di negeri orang. Inilah kondisi yang mesti kita benahi agar mereka, para anak bangsa segera menarik uangnya dari luar negeri dan diinvestasikan di ne­ge­ri sendiri agar roda perekonomian kita bisa segera bangkit sehingga per­ma­salahan terorisme bisa segera kita atasi. Permasalahan lain, kita telah mem­punyai MoU (Memorandum of Under­standing) dengan Cina sebanyak 150 MoU. Tapi kenapa MoU ini tidak segera kita laksanakan. Kita malah berharap dengan Amerika. Memang Amerika banyak memberikan janji untuk ber­in­ve­stasi, tapi tidak terealisasi. Saya menga­takan, jangan terlalu berharap pada bangsa bangsa luar, kita juga harus bangkit sendiri. Saya sangat sedih ketika ada yang mengatakan bahwa da­lam masalah duit, tidak ada nasiona­lis­me. Mereka mengatakan duit mengalir sepe­rti air, ia akan mencari tempat ren­dah. Artinya, mereka akan meng­inves­ta­­sikan duitnya yang dianggap oleh mereka menguntungkan. Kalau bangsa sen­diri tidak berjibaku memberantas ke­miskinan di negeri ini, dan malah menyimpan uangnya di luar negeri, maka aksi terorisme akan terus subur di negeri ini.

Bapak Udut, Bandung

Saya melihat bahwa bangsa ini sedang diadu domba oleh Barat. Tanggapan Anda?

Memang saya melihat hal yang sama, ada skenario politik belah bambu di negeri ini. Sebelum meletus kerusuhan Poso pada bulan Januari lalu, sebulan se­be­lumnya saya diundang ceramah oleh Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan kelompok Islam garis keras lainnya, di situ saya meminta mereka untuk me­nyam­paikan kepada para ulama di Poso agar mereka tidak terpancing karena nanti pada waktu lebaran akan meletus peristiwa besar. Peristiwa besar ini oleh orang yang waktu itu datang dari Singapura dan rapat di salah satu hotel terkemuka di Jakarta. Habis rapat ia kembali lagi ke Singapura. Dan ternyata setelah itu meletuslah peris­ti­wa besar. Pada waktu ustad Adnan Arsal datang ke Jakarta untuk berbicara dalam se­buah seminar bersama saya, saya tanya­­kan, apakah pesan saya di­sam­pai­kan kepa­da dia. Dia jawab, pesan tidak sam­pai dan kalau sampai ia tidak akan ter­pan­cing. Karena itu, saya me­­nya­­ta­kan ada skenario asing mem­buat rusuh agar Indonesia tidak stabil.

Bagaimana dengan peran TNI?

Saya kira memang militer perlu dilibatkan. Tapi tanpa sikap proaktif ma­sya­rakat, sulit menciptakan Indonesia yang stabil karena terbatasnya jumlah aparat kita. Masalah ini adalah masalah keamanan, sedang masalah teroris ada­lah salah satu dari masalah keamanan yang dihadapi negeri ini. Karena itu, masya­rakat hendaknya membantu aparat dengan memberikan informasi sehingga permasalahan apa pun yang timbul, bisa diatasi sedini mungkin.

Bapak Noordin

Sebelum Abu Dujana tertangkap, Noordin dikatakan sebagai orang yang paling berbahaya. Tapi setelah Abu Dujana tertangkap, dikatakan ia adalah orang yang lebih berbahaya dari pada Noor­din. Siapakah yang membawa beri­ta tidak benar ini, apakah aparat ke­aman­an atau pihak intelijen. Apakah kepe­ntingan asing bermain dalam penangkapan Abu Dujana ini?

Saya kira dua orang ini adalah orang yang berbahaya. Hanya posisi Abu Dujana lebih tinggi dari posisi Noordin. Menyangkut kemampuan taktik dan strategi, termasuk pelatihan dan infran­tri, serta kemampuan managerial lebih handal Abu Dujana dibandingkan dengan Noordin. Kalau kita bertanya siapa yang salah, apakah intelijen atau petu­­gas aparat kepolisian, hal ini me­nyang­kut informasi saja. Informasi ini bisa kita pilah dua; kepada masyarakat atau kepada user. User ini adalah peme­rin­tah, dalam hal ini presiden, untuk meng­ambil kebijakan-kebijakan apakah ini untuk kepentingan negara lain atau masya­rakat kita. Selama ini ada kese­pakatan regional antara enam negara ASEAN dengan Australia. Kese­pa­katan­nya adalah bekerja sama sama dan mem­berikan informasi mengenai se­putar tindak terorisme demi keamanan ber­sama. Mengenai kepentingan negara lain, kepentingannya adalah masalah arus infor­masi dini (early warning) dan men­cegah timbulnya aksi terorisme serta bagai­mana menanganinya.

Sebenarnya, masalah terorisme bukan hanya masalah keamanan semata, tapi juga berimplikasi pada sektor pari­wi­sata, perekonomian dan investasi. Le­bih penting lagi, aksi terorisme ber­imbas langsung pada pencitraan negara. Oleh karena itu, kepentingan menang­kap para pelaku teror adalah kepen­ting­an bersama semua negara. Dan, seperti yang telah saya katakan, ada kesepa­kat­an regional untuk saling tukar menukar informasi yang berhubungan dengan terorisme.

Bapak Asri

Menurut saya, aksi teror ini ber­sum­ber dari kebijakan politik luar negeri Amerika yang tidak adil atas Palestina, Irak, Afganistan, negeri-ne­ge­­ri Muslim lainnya. Permasalahan lain, pas­ca runtuhnya komunisme, Islam dija­dikan sasaran target beri­kut­nya oleh kaum imperialis dan kapitalis. Dan hal ini erat kaitannya persaingan bisnis. Untuk memenangkan per­saing­an ini, me­reka menggunakan umat Islam yang fanatik terhadap agamanya. Saya bukan orang intelijen, tapi saya mempre­dik­sikan puluhan ribu spion-spion (mata-mata) Amerika di Indonesia yang meng­gu­nakan orang-orang Asia. Karena itu, kita harus waspada.

Saya bukan intelijen, tapi saya adalah pengamat intelijen. Di awal pem­bicaraan saya sudah kemukakan masa­lah ketidakadilan ini dan ada semacam “ben­turan peradaban” antara Islam dan Barat yang disinyalir oleh Samuel Huntington. Masalah banyaknya intel-intel asing yang berkeliaran di Indonesia sudah diungkapkan oleh Riyamizad Ryacudu yang waktu itu menjabat seba­gai Kepala Staf Angkatan Darat.

Apakah Riyamizad adalah orang yang pertama mengungkapkan adanya intel-intel asing di negeri ini?

Sebenarnya saya dulu mengungkap­kan hal yang sama. Tapi terjadi perbeda­an pendapat antara saya dengan Men­teri Luar Negeri (Hasan Wirayudha-red). Kare­na saya lebih muda, saya tidak enak melanjutkan polemik ini. Setelah Bapak Riyamizad mengungkapkannya, mulailah orang berfikir dan percaya bahwa ada kepentingan lain yang bermain di Indonesia.

Bagaimana mengatasi hal ini agar tidak membawa dampak buruk bagi bangsa?

Persoalan yang paling mendasar adalah kewaspadaan kita dan bagaimana meng­atasinya karena kita sekarang sudah tahu mengenai hal ini. Untuk mela­wan ini perlu kerja sama antara masya­rakat, ulama dan umara (pemerin­tah). Ulama dan umara perlu bersanding, bukan bertanding. Tapi yang terjadi, terkadang ada benturan antara ulama dan umara. Ada satu kawasan di mana Kapol­da dan Gubernur tidak bertegur­sapa. Ini sangat disayangkan terjadi. Ini bukan joke, tapi kenyataan yang ter­jadi. Saya bukan mengarang, tapi saya men­­dengarnya dari pembicaraan-pem­bicaraan di DPR. Bagaimana jika hal ini ter­jadi antara ulama dan umara! Akhir­nya, koordinasi tidak jalan dan memutus arus informasi. Hal inilah yang menye­bab­kan kita tidak mempunyai “kartu peng­aman”. Kita ingin, negara ini mem­punyai “kartu pengaman” sehing­­ga masa­lah yang timbul, sekecil apa pun, bisa segera diselesaikan sehing­ga tidak mem­besar. Kecepatan menga­ta­si masa­lah, memerlukan kebersamaan.

Bagaimana pendapat Anda menge­nai tesis Huntington tentang “benturan peradaban”?

Kalau misalnya ada “benturan pera­da­ban,” sebenarnya tidak hanya Islam dengan Barat. Dalam kehidupan sehari-hari kita pun sering mengalami benturan ke­pentingan. Dan ini adalah hal yang wajar. Tapi setelah benturan kepen­ting­an ini dipelintir dan dipolitisir, akhirnya me­nimbulkan sesuatu yang tidak wajar. Pada akhirnya, muncul kesan seolah-olah ada perang antara Islam dan Barat. Padahal di balik itu semua, ada kepen­tingan yang berusaha mereka satukan. Seperti kepedulian terhadap anak-anak dan penyandang penyakit AIDS. Kepen­ti­ngan bersama ini tidak berbenturan kare­na fokusnya tidak dipelintir. Kami ingin perbedaan pandangan ini dimi­ni­ma­lisir dan tidak semua perbedaan itu adalah rahmat. Misal­nya, jika mem­per­ta­hankan sesuatu yang baik demi bang­sa, kemudian datang pe­mahaman dari luar yang lebih baik, ten­­tunya paham ini kita adopsi. Tapi kita tetap harus punya filter dan memperta­­hankan kewas­pa­daan kita sehingga tidak terjadi inte­r­vensi-intervensi yang justru mend­egra­dasi bangsa ini. Senga­ja atau tidak, sebagaian dari kita telah menjadi pengkhianat negeri ini dan ber­main demi kepentingan asing.

Tadi Anda mengatakan bahwa ada orang dari Singapura yang menjadi master­mind dari konflik Poso. Apakah dia orang kita atau orang asing?

Ia adalah orang asing yang memang mempunyai target untuk memporak-porandakan negeri ini. Saya termasuk tim sosialisasi penjanjian Helsinky dan juga tim penanganan masalah Poso dan Mili­ter. Pada waktu saya ceramah di Korea Selatan mengenai berbagai keru­suh­an di Indonesia, ada delegasi dari Sri Langka yang banyak tahu tentang Poso, bahkan ia punya data-data yang begitu leng­kap. Kemudian saya tanya, Anda dapat data dari mana? Dia jawab saya dapat­kan data dari LSM-LSM yang ada di Poso. Ini kejadian luar biasa. Ada in­ter­v­­ensi melalui LSM-LSM dan banyak LSM yang tidak melaporkan hasil te­muan­nya kepada Pemda.

Lantas bagaimana tindakan aparat ter­hadap LSM-LSM tersebut?

LSM itu ada yang melapor dan ada yang tidak. Mereka menyelinap begitu saja tanpa melapor karena berada di daerah terbuka dan LSM-LSM ini meng­gu­nakan orang-orang lokal untuk men­curi-curi informasi. Mereka melakukan mapping orang-orang yang bisa dipakai untuk mencuri informasi dengan gan­jar­an sejumlah uang. Begitu juga dengan orang yang datang dari Singapura itu. Di salah satu Hotel Jakarta, ia menyebar-nye­bar uang. Marilah kita tidak saling me­nyalahkan dan marilah kita sadari bahwa kita dibenturkan antar sesama. Ada semacam project pembenturan dari luar dan ini yang harus kita sadari. Infor­masi yang saya sampaikan ini bertujuan agar kita meningkatkan kewaspadaan nasio­nal supaya kita tidak diadu domba seper­ti yang terjadi di Palestina, yaitu ben­trokan antara Hamas dengan Fatah. Di Indonesia, juga akan dilakukan test case, misalnya antara Ahmadiyah diadu dengan kelompok lain.

Terima kasih kami ucapkan atas ke­se­diaan Anda berdialog dengan pendengar RRI. Mudah-mudahan di lain waktu kita bisa berjumpa lagi.

Sama-sama, mudah-mudahan di lain waktu kita bisa berdialog kembali. Amin.

Aksi Terorisme Tidak Rasional

Terorisme kini menjadi hantu yang menakutkan. Para teroris tidak memilah dan memilih korbannya, baik Muslim maupun non-Muslim: semua menjadi sasaran aksinya. Mereka juga sangat piawai menggunakan teknologi untuk menggalang dana dan mengendalikan aksi terorisme. Mengapa teorisme selalu mengancam keamanan negara dan masyarakat? Berikut pandangan Wawan H. Purwanto.

Apa sebenarnya penyebab mun­culnya terorisme di Indonesia?

Kalau dalam konteks Indonesia, munculnya kelompok teroris akibat; pertama adalah masalah sentimen kea­ga­maan dan pembelaan terhadap umat Islam yang tertindas di Timur Tengah. Stan­dar ganda yang diterapkan dalam masalah Palestina-Israel yang men­do­rong mereka untuk melakukan perla­wa­nan. Karena mereka tidak bisa menye­rang di Palestina, akhirnya mereka me­nye­rang di mana saja, yaitu di daerah yang banyak ditinggali warga negara yang pemerintahnya dianggap berbuat ke­za­liman di Palestina. Indonesia ber­peluang besar dijadikan tempat itu, mengingat Indonesia adalah negara ber­pen­duduk Muslim mayoritas sehingga mereka mempunyai tempat untuk ber­sembunyi. Fakta di lapangan menunjuk­kan bahwa Indonesia menjadi ladang subur dari ajang terorisme internasio­nal. Sesungguhnya Indonesia juga men­jadi korban.

Apakah meledakkan bom di Indonesia adalah perjuangan yang tepat untuk membela umat Islam yang ter­tindas di Timur Tengah?

Kita ingin menyadarkan bahwa kita perlu rasional dalam berjuang. Tidak hanya mengandalkan semangat semata, tan­pa berpikir bahwa korbannya adalah bangsa ini. Akibat aksi terorisme, bangsa ini perekonomiannya semakin morat-ma­rit, banyak orang di-PHK, investor ta­kut masuk ke Indonesia, dan turis enggan berkunjung. Kita harus memi­kirkan man­faat dan mudarat saat akan mela­kukan serangan di negara sendiri. Saya kira, melakukan serangan di negara sendiri lebih banyak mudharatnya. Saya lebih menghargai mereka yang dari Qatar, Maroko, Libya, dan negara lain yang langsung pergi ke negara konflik untuk membantu saudara seiman mere­ka. Ini lebih kesatria daripada ber­aksi di negeri sendiri. Kalau mau berpe­rang, per­gilah ke tempat perang. Jang­an ber­perang di daerah damai, apalagi sampai mengor­bankan orang yang tidak berdosa dan merugikan atau melum­puhkan per­eko­­nomian negara tersebut yang tentunya akan mengakibatkan penderi­ta­an bagi rakyatnya, termasuk bagi me­re­ka yang beragama Islam.

Mengapa pejuang HAM di Indonesia bisa menerima UU semacam UU Antisub­versi? Apakah pejuang HAM Indonesia tidak belajar dari pejuang HAM negara lain?

Ini disebabkan trauma masa lalu sehingga muncul penentangan yang sangat keras terhadap UU Antisubversi di DPR dan di masyarakat melalui LSM-LSM maupun ormas-ormas. Ini merupa­kan buah simalakama. Kondisi ini sangat rawan untuk dijadikan satu titik lemah untuk masuk. Kita harus sadari bahwa kelom­pok-kelompok perlawanan (ter­hadap UU Antisubversi-red) mempunyai agen­da tersendiri. Kalau terorisme terus ber­langsung, pencitraan terhadap pemerintah sekarang akan menjadi negatif. Sehingga di 2009 kelompok ter­tentu mempunyai peluang mengambil alih pemerintah. Inilah yang menyebab­kan terjadinya perseteruan politik sehing­ga yang menjadi korbannya adalah rakyat sendiri. Ini yang kita sesalkan.

Kita menghimbau kepada para poli­ti­si untuk lebih mengedepankan kepen­tingan publik yang lebih luas dan mereka mempunyai kewajiban untuk memberi­kan perlindungan yang cukup kepada war­ga negara Indonesia, ter­masuk war­ga negara asing yang tinggal di Indone­sia, tanpa harus melanggar HAM. Tapi kita ingat, bahwa teroris sendiri adalah pe­­langgar HAM. Sungguh enak sekali jika para teroris dihormati HAM-nya se­dang­kan perbuatan mereka melanggar HAM.

Bagaimana masyarakat menyikapi kon­disi ini?

Masyarakat kita ingin tahu beres saja. Mereka tidak mau pusing akan hal ini dan mereka cenderung tidak peduli. Yang peduli adalah DPR, organisasi sosial kemas­yarakatan, para aktivis, dan LSM-LSM yang merasa tidak dengan kondisi se­perti itu. Masyarakat hanya ingin tahu be­res saja. Dan saya melihat sebagian masya­­rakat sudah jenuh dengan kondisi seper­ti ini. Sudah tidak ingin adanya teror-teror yang berkepanjangan, kare­na itu mereka menginginkan UU subversi diterap­kan. Masyarakat yang berpen­da­pat seperti ini hanya sebagian saja dan seba­gian yang lain menolak. Yang kita per­­lukan adalah satu alternatif atau jalan keluar dari masalah ini. Kalau kita ber­­kaca pada Amerika, pemerintah Ame­rika mengutamakan perlindungan publik, baik warga negara sendiri mau­pun warga negera asing. Sehingga peme­ri­ntah Amerika memburu kelompok yang dianggap menggangu keamanan rakyat­nya, bahkan dengan menangkap kepala ne­gara lain yang mengusik kepentingan nasio­nalnya. Indonesia untuk menjadi se­perti Amerika tidak mampu, karena hal ini harus didukung oleh kekuatan eko­nomi dan militer yang cukup besar.

Jadi, kita harus menjadi negara mak­mur lebih dahulu?

Faktanya demikian. Kita terjebak hutang yang luar biasa akut. Kita lihat Rusia, hutangnya sudah hampir lunas sehing­ga ia membuat aliansi peradaban yang merangkul beberapa negara Islam. Mere­ka menerapkan kebijakan masa lalu­nya, pada masa Uni Soviet. Soviet, mes­­kipun adalah negara komunis, mem­bangun aliansi dengan negara-negara Islam karena mempunyai kepentingan yang sama, yaitu berhadapan dengan kepen­tingan Barat, dalam hal ini Amerika. Sekarang Rusia tampaknya mulai menunjukkan pertumbuhan eko­nomi yang sangat pesat dan per­sen­ja­taan yang sangat besar, di samping me­reka mempunyai nuklir. Perlu diketa­hui, aliansi ini telah diperhitungkan oleh ne­gara-negara Barat bahwa Rusia sedang mengupayakan membangun kepenti­ngan­­nya.

Ancaman Teroris Tetap Ada

Tewasnya aktor intelektual kekerasan, Azahari Husin oleh Tim Datasemen 88 dalam penyergapan di Batu, Malang, 9 November 2005 merupakan keberhasilan besar aparat keamanan dalam memutus mata rantai peledakan bom di Tanah Air. Sejak Azahari rewas disinyalir bahwa tragedi-tragedi kemanusiaan di Indonesia akan berkurang, karena perakit bom utamanya telah tiada. Meskipun Azahari telah tewas, apakah ancaman terorisme juga berakhir? Bagaimana peranan jaringan teroris internasional? Berikut pandangan pengamat intelijen, Wawan H. Purwanto.

Beberapa waktu lalu, pasca pe­ringat­an lima tahun 11/9, Al Qaeda Dr. Ayman Al-Zawahiri, tangan kanan Osama bin Laden, kem­bali melontarkan ancaman teror dan menyerukan kaum Muslim mem­buat serangan. Komentar Anda?

Sebetulnya, selama mereka masih ada, ancaman tetap ada. Termasuk di Indonesia, selama Noordin M. Top, Zul­kar­naen, Abu Dujana, Umar Patek dan lain-lain belum tertangkap, maka anca­man itu tetap ada. Selama perlakuan negara-negara Barat tidak mau merang­kul dan berendah hati, selama itu pula per­seteruan akan terjadi. Perseteruan ini sepertinya ada yang memelihara, dengan alasan kalau dunia aman, pabrik-pabrik senjata tidak akan laku, riset-riset unggulan tidak akan terpakai, dan asuransi-asuransi besar tidak pernah ter­sentuh, dan lain sebagainya. Ini yang men­jadi persoalan, mengapa ada kepen­ti­ngan ekonomi yang bersama-sama masuk di dalamnya.

Jika demikian, benarkah ada rekayasa asing dalam aksi terorisme, ter­masuk penggunaan teknologi infor­masi?

Itu jelas ada dan tidak terbantahkan lagi. Semua itu by design dan kita harus sada­ri bahwa siapa pun yang pegang bola atas politik dunia adalah mereka yang kuat secara ekonomi dan militer serta intelijen. Merekalah yang memain­kan bola. Ingat, bangsa yang besar adalah bangsa yang siap untuk bertem­pur. Bertempur dan menyerang adalah per­tahanan yang terbaik. Ini adalah konsep sepak bola yang diterapkan dalam bidang politik. Oleh karena itu, Amerika sela­lu mendahului karena ingin meme­nang­kan sebuah permainan atau­pun per­tempuran.

Bagaimana Anda melihat peran inte­li­jen kita dalam memberantas aksi terorisme?

Intelijen kita sudah disebar sedemi­kian rupa. Sebetulnya masalah terori­sme bukan hal baru, karena pada tahun 1994 sudah dibahas bersama de­ngan pejabat-pejabat keamanan Ame­rika. Di tahun 1994 belum ada bibit apa pun, akan tetapi terus didengung­kan untuk bagaimana melakukan kontra­te­ro­­risme, bagaimana mengguna­kan teknik propaganda untuk memben­dung opini dan lain sebagainya. Teroris­me yang terjadi saat ini sudah diper­hi­tung­kan. Intelijen membuat “kirka”, yaitu per­­kiraan keadaan. Kirka ini ada yang tahu­nan, lima tahunan, sepuluh tahu­nan, bahkan ada yang dua puluh lima tahu­nan.

Bagi negara yang sudah mengetahui “kirka” ke depan seperti apa, ia harus mem­persiapkan untuk mengantisipasi­nya. Di Indonesia pun sama, kita sudah melakukan hal yang sama. Hanya per­soa­lannya, Indonesia masih diliputi oleh awan kabut masalah ekonomi. Masalah eko­nomi ini sangat memberatkan. Hal ini membuat kita susah mengem­bangkan per­senjataan karena tidak ada dukung­an dana yang cukup. Radar-radar kita sudah usang. Begitu pula dengan sistem de­te­ksi dini (early warning), kita tidak bisa membeli yang baru karena harganya sangat mahal. Peralatan kita dibeli pada tahun 1975-an sehingga sudah sangat usang sekali, bahkan ada yang jadi bang­kai. Oleh karena itu, perlu ada pembaharuan labo­ra­­torium yang modern dan bisa dilakukan secara mandiri tanpa harus bergantung pada teknologi asing. Kita harus mem­buat sistem dan peralatan yang sesuai dengan kondisi geografis kita. Karena pera­latan kita sudah usang, maka hal ini meng­hambat kinerja dari aparat in­te­li­jen kita.

Bagaimana Anda menanggapi peng­gunaan laptop oleh Imam Samudra dalam penjara? Bukankah hal ini tidak per­­lu terjadi di penjara yang penja­gaan­­nya super ketat?

Sebetulnya penggunaan laptop oleh Imam Samudra disebabkan keteledoran sipir penjara. Sipir penjara kita ada ok­num-oknum yang bisa dibayar, seperti lolos­nya tahanan kelas kakap; Gunawan Santoso dan Edy Tansil, maupun yang kecil; lolosnya pengedar narkoba, masuk­nya narkoba ke dalam penjara, dan lain-lain. Ini merupakan tanda bahwa me­mang ada ok­num sipir penjara yang mem­punyai men­tal oportunis, mereka memanfaat­kan kedudukannya untuk keuntungan diri­nya sendiri, tanpa melihat efek lebih jauh, yaitu kepen­ting­an negara. Itulah sebabnya kita jangan bergerak setelah ter­jadi, semes­tinya semua itu bisa diantisipasi dan ditertibkan agar di kemu­dian hari tidak terjadi lagi. Misalnya pembenahan moral dan kesejah­teraan agar mereka tidak tergoda mene­rima uang yang merugikan kepen­ti­ngan negara.

Bukankah dengan adanya “kirka” apa­rat negara sejatinya bisa mencegah peris­tiwa seperti ini?

Indonesia sangat luas. Setelah UU Anti­subversi telah dihapus, maka tidak ada UU yang mampu menangkap kelom­pok teroris sebelum ada bukti. Inilah ala­san logis kenapa kita tidak sekuat Malay­sia dan Singapura memben­tengi diri dari serangan kaum teroris. Singa­pu­ra dan Malaysia mempunyai UU ISA (Inter­nal Security Act) yang mem­beri­kan kewe­na­ngan kepada negara untuk menang­kap tanpa diadili. UU Patriot X lebih gila lagi, memenjarakan orang tan­pa batas waktu. Indonesia, setelah refor­masi, jus­tru mempereteli semua perang­kat itu sehi­ngga menjadi lumpuh dari segi per­undang-undangan dan sampai sekarang belum ada peng­gantinya.

Setahun terakhir ini kita bersyukur karena bom tidak ada yang meledak di negeri ini. Apakah ini men­jadi tanda karena kelompok tero­ris melemah atau ada hal lain?

Kalau aparat siaga, mereka akan tiarap. Sekarang aparat melakukan penggerebekan dan penyerbuan secara besar-besaran, bahkan dengan mengikutsertakan TNI. Aparat keamanan aktif mela­kukan pengejaran dan pengen­dus­an terhadap daerah-daerah yang di­cu­ri­gai serta mengaktifkan kembali Babin­sa, Babinkatibnas, membekali RT/RW dengan pengetahuan yang cukup untuk me­lakukan pendeteksian dini andaikata di wilayahnya ada orang-orang yang di­cu­rigai adalah kelompok teroris. Itulah sebab­nya mereka banyak yang lari ke gunung. Berkat pengejaran dan pe­ngen­­dusan terhadap gerakan kelom­pok tero­ris, mereka untuk saat ini tidak bisa lelu­asa bernapas dan mengasingkan diri ke gunung untuk menghindarkan diri dari aparat kepolisian.

Memerangi Teroris Perlu Grand Skenario

Indonesia telah memberlakukan UU No. 15/2003 dan UU No. 16/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Selain itu Inpres No. 04/2002 untuk menjamin adanya sinergi upaya secara komprehensif dalam pemberantasan terorisme, yang memberikan tugas kepada Menkopolkam untuk merumuskan strategi dan mengoordinasikan semua langkah-langkah operasional dalam rangka pemberantasan terorisme. Berbagai langkah telah ditempuh oleh aparat keamanan. Namun, hingga kini, terorisme masih tetap mengancam. Bagaimana sebetulnya upaya pemerintah dalam memberantas terorisme? Berikut pandangan pengamat intelijen, Wawan H. Purwanto.

Bagaimana Anda melihat strategi kebi­jakan pemerintah dalam meme­ra­ngi terorisme?

Seharusnya pemerintah mem­beri­kan payung hukum kepada dunia inte­li­jen—hal ini masih dalam tahap peng­go­do­kan dan diperkirakan akan dibahas ta­hun 2007, memberikan pembekalan kepa­da unit-unit khusus yang berada titik terdepan dalam memburu para teroris, seperti Densus 88 maupun pihak TNI yang terlibat secara aktif. Perlu disa­dari bahwa skenarionya adalah jarum jatuh pun terdengar oleh pemerintah seba­gaimana yang pernah diterapkan pada masa Orba. Pemerintah tampaknya men­coba mengkaji ulang kemungkinan diap­likasikannya strategi ini pada zaman seka­rang. Ternyata menghidupkan kem­bali Babinsa, Babinkatibnas, dan RT/RW membuat kewaspadaan terhadap sera­ngan aksi terorisme menjadi lebih baik. Di samping itu, kerjasama dengan negara-negara sahabat dan penggunaan peralatan pendeteksi, teknologi dan satelit, termasuk alat pelacak dan alat penya­dap diperlukan dalam hal ini. Karena itu, saya mengatakan bahwa dalam memerangi kaum teroris harus ada grand skenario.

Perkembangan Islam di Indo­nesia sangat pesat. Bagaimana mem­be­dakan antara Islamologi dan “Muslim ekstrem”?

Membedakan Islamologi dan ekstrimis adalah dari perilaku, ucapan, dan sikap sosial kemasya­rakat­an. Dari sini bisa kelihatan. Bisa juga dibedakan dari cara peribadatannya yang kelihatan “nyeleneh” atau tidak lazim. Ini tentu sudah menimbulkan stig­ma kenapa harus seperti itu, kenapa ber­pisah dan tidak berbaur dengan masya­rakat. Pasti ada yang disembunyi­kan. Bagi mereka yang “Islam KTP” atau Islam abangan, biasanya mereka lebih mu­dah cair karena memang memandang kemas­lahatan secara sekular. Akan tetapi kelompok ekstremis didera oleh sentimen keagamaan yang kuat, per­sau­da­raan sesama satu agama. Saat mereka me­lihat saudaranya hidup di bawah te­ka­nan, baik fisik maupun psikis, dari kelom­pok yang lebih kuat, mereka meng­aktualisasikan rasa persaudaraan mereka dengan melakukan aksi pemba­las­an, dan itu terjadi di mana-mana, ti­dak hanya di Indonesia saja. Itulah sebab­­nya, untuk mengendus rangkaian uta­manya adalah mempelajari pola ting­kah laku dan hubungan kemasyara­kat­an serta pola ibadahnya.

Tapi masalah perilaku, sikap dan ibadah yang berbeda, tidakkah dise­bab­kan karena perbedaan penafsiran ter­hadap dalil agama?

Betul, akan tetapi jika perilakunya menyendiri dan tata cara ibadahnya ber­beda, melakukan bai’at dan tidak meng­izinkan kelompoknya untuk berbaur dengan masyarakat dan menganggap yang orang di luar kelompok sebagai kafir, adalah sebuah ketidaklaziman. Ketidak­laziman inilah yang perlu kita amati dan kalau bisa kita sadarkan mereka. Dasar utama yang dilakukan oleh kelompok teroris untuk mengajak masya­rakat mengikuti pola-pola bom bunuh diri adalah dengan bai’at (Bai’at adalah sumpah dan janji setia untuk me­ma­tuhi setiap larangan dan perintah pemim­pin. Mereka menganggap bai’at sebagai sebuah kewajiban yang harus dila­kukan sebelum memasuki organisasi mereka. Karena itu, seseorang hanya sah menjadi anggota kelompok mereka sete­lah melantunkan bait-bait bai’at yang telah disediakan oleh pimpinan me­re­ka-red).

Di tahun 1970-an ada buku yang mengupas masalah terorisme, seperti Tentara Merah. Apa yang dimaksud dengan “terorisme internasional merah” dan “terorisme internasional hi­tam”?

Terorisme merah adalah terorisme yang berkembang dari negara-negara merah, yaitu negara komunis. Terorisme merah melancarkan teror karena sejarah masa lalu, yaitu Perang Dingin. Sampai sekarang masih ada negara-nega­ra yang bergaya komunis tetap melaku­kan pressure terhadap lawannya, ter­ma­suk dengan menggunakan cara-cara teror. Terorisme hitam cenderung pada gaya-gaya kriminal dan ingin me­raup keuntungan dengan cara-cara memak­sa. Terorisme hitam ini biasanya lawan dari pemerintah karena pemerintah mera­sa terganggu dengan aktivitas-aktivi­tas pelanggaran hukum kelompok tero­ris hitam. Ini sering terjadi di segi tiga emas, di mana di sana ada ladang-ladang ganja. Ada sekelompok teroris yang mempunyai armada tentara, ter­mas­uk mempunyai pasukan tank. Mere­ka bertempat di daerah pedalaman. Mere­ka membangun imperium tersen­di­ri yang tidak mau disentuh oleh kekua­sa­an, bahkan mereka siap untuk ber­tem­pur. Selain berada di segi tiga emas, mere­ka ada di Indo Cina, dan Kolombia. Sedang­kan di Brazilia ada gangsters yang sangat menakutkan, bahkan polisi takut kepada mereka.

Mengapa Anda menggunakan istilah “teroris­me hitam”?

Definisi terorisme adalah mencip­ta­kan rasa takut, mencekam, tidak percaya kepada pemerintah, maupun kepa­da aparat keamanan. Mengenai Ameri­ka, ia memang sering melakukan standar ganda dan pelanggaran hukum yang dilakukan Amerika memang sangat fatal; tidak ada restu PBB dan tuduhan yang dilontarkannya pun tidak terbukti. Inilah fakta yang tidak dapat diabaikan bahwa “yang kuat akan selalu menang” dan bahwa sejarah ditulis oleh para pemenang untuk menyudutkan yang kalah. Mengenai terorisme hitam, saya kira kita mempunyai pandangan yang ber­beda.

Kamis, 28 Februari 2008

What is Terrorism?

Terrorism is not new, and even though it has been used since the beginning of recorded history it can be relatively hard to define. Terrorism has been described variously as both a tactic and strategy; a crime and a holy duty; a justified reaction to oppression and an inexcusable abomination. Obviously, a lot depends on whose point of view is being represented. Terrorism has often been an effective tactic for the weaker side in a conflict. As an asymmetric form of conflict, it confers coercive power with many of the advantages of military force at a fraction of the cost. Due to the secretive nature and small size of terrorist organizations, they often offer opponents no clear organization to defend against or to deter.

That is why preemption is now so important. In some cases, terrorism has been a means to carry on a conflict without the adversary realizing the nature of the threat, mistaking terrorism for criminal activity. Because of these characteristics, terrorism has become increasingly common among those pursuing extreme goals throughout the world. But despite its popularity, terrorism can be a nebulous concept. Even within the U.S. Government, agencies responsible for different functions in our current fight against terrorism use different definitions.

The United States Department of Defense defines terrorism as “the calculated use of unlawful violence or threat of unlawful violence to inculcate fear; intended to coerce or to intimidate governments or societies in the pursuit of goals that are generally political, religious, or ideological.” Within this definition, there are three key elements—violence, fear, and intimidation—and each element produces terror in its victims. The FBI uses this: "Terrorism is the unlawful use of force and violence against persons or property to intimidate or coerce a government, the civilian population, or any segment thereof, in furtherance of political or social objectives." The U.S. Department of State defines "terrorism" to be "premeditated politically-motivated violence perpetrated against non-combatant targets by sub-national groups or clandestine agents, usually intended to influence an audience.

Outside the United States Government, there are greater variations in what features of terrorism are emphasized in definitions. The United Nations produced this definition in 1992; "An anxiety-inspiring method of repeated violent action, employed by (semi-) clandestine individual, group or state actors, for idiosyncratic, criminal or political reasons, whereby - in contrast to assassination - the direct targets of violence are not the main targets." The most commonly accepted academic definition starts with the U.N. definition quoted above, and adds two sentences totaling another 77 words on the end; containing such verbose concepts as "message generators" and 'violence based communication processes." Less specific and considerably less verbose, the British Government definition of 1974 is"…the use of violence for political ends, and includes any use of violence for the purpose of putting the public, or any section of the public, in fear."

Terrorism is a criminal act that influences an audience beyond the immediate victim. The strategy of terrorists is to commit acts of violence that .draws the attention of the local populace, the government, and the world to their cause. The terrorists plan their attack to obtain the greatest publicity, choosing targets that symbolize what they oppose. The effectiveness of the terrorist act lies not in the act itself, but in the public’s or government’s reaction to the act. For example, in 1972 at the Munich Olympics, the Black September Organization killed 11 Israelis. The Israelis were the immediate victims. But the true target was the estimated 1 billion people watching the televised event.

The Black September Organization used the high visibility of the Olympics to publicize its views on the plight of the Palestinian refugees. Similarly, in October 1983, Middle Eastern terrorists bombed the Marine Battalion Landing Team Headquarters at Beirut International Airport. Their immediate victims were the 241 U.S. military personnel who were killed and over 100 others who were wounded. Their true target was the American people and the U.S. Congress. Their one act of violence influenced the United States’ decision to withdraw the Marines from Beirut and was therefore considered a terrorist success.

There are three perspectives of terrorism: the terrorist’s, the victim’s, and the general public’s. The phrase “one man’s terrorist is another man’s freedom fighter” is a view terrorists themselves would accept. Terrorists do not see themselves as evil. They believe they are legitimate combatants, fighting for what they believe in, by whatever means possible. A victim of a terrorist act sees the terrorist as a criminal with no regard for human life. The general public’s view is the most unstable. The terrorists take great pains to foster a “Robin Hood” image in hope of swaying the general public’s point of view toward their cause. This sympathetic view of terrorism has become an integral part of their psychological warfare and needs to be countered vigorously.

Menyambut Buku Dr. Syamsuddin Arif

Tepat saat acara ”5 Tahun INSISTS”, juga diluncurkan buku berjudul “Orientalis dan Diabolisme Pemikiran.” Baca catatan akhir pekan [CAP] Adian ke-225

Oleh: Adian Husaini

ImagePada 9 Februari 2008, tepat saat acara ”5 Tahun INSISTS” (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization), terbitlah buku berjudul Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, karya Dr. Syamsuddin Arif. Di tengah semakin kokohnya cengkeraman studi Islam gaya orientalis di Indonesia, buku Syamsuddin ini menjadi sangat berarti kehadirannya. Selain menyuguhkan data yang melimpah tentang studi dan pemikiran Islam gaya orientalis dalam berbagai bidang studi, buku ini ditulis dalam perspektif jelas dan tajam.

Buku ini memang merupakan kumpulan tulisan di berbagai media dan kesempatan. Namun, semuanya dibingkai dalam cara pandang yang kokoh dan padu. Dalam komentarnya atas buku ini, cendekiawan Gontor Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi menulis: ”Suatu karya yang tidak dapat lahir kecuali dari seseorang yang memiliki framework yang jelas. Pendekatannya mengesankan seperti anti-Barat dan anti-kemapanan, padahal ini adalah upaya riil untuk berubah dan mengubah diri dari kondisi yang selama ini terhegemoni oleh framework dan worldview orientalis dan Barat.”

Penulis buku ini sudah cukup kita kenal. Dia adalah peneliti INSISTS. Cendekiawan muda Betawi ini menyelesaikan doktornya di ISTAC-Kuala Lumpur. Kini, selain mengajar di Universitas Islam Internasional Malaysia, dia masih menyelesaikan disertasi untuk doktor keduanya di Orientalisches Seminar, Universitas Frankfurt, Jerman. Buku ini menjadi indikator bahwa penulisnya ”bukan orang sembarangan”.

Dalam kaitan dengan ”Diabolisme Pemikiran”, penulisnya mencatat, bahwa ”Diabolos adalah Iblis dalam bahasa Yunani Kuno... maka istilah ”diabolisme” berarti pemikiran, watak, dan perilaku ala Iblis ataupun pengabdian kepadanya.” Iblis bukan bodoh, bukan ateis. Iblis kenal Tuhan. Tapi, Iblis ingkar, kafir, menolak tunduk kepada Allah. Kesalahan Iblis bukan tidak berilmu, tetapi membangkang, merasa hebat, dan melawan perintah Allah. ”Dalam hal ini, Iblis tidak sendirian. Sudah banyak orang yang berhasil direkrut sebagai staf dan kroninya, berpikiran dan berperilaku seperti yang dicontohkannya. Iblis adalah ’prototype’ intelektual ’keblinger’.” (hal. 143-144).

Membaca buku ini, kita seperti dibawa hanyut oleh penulisnya dalam menelusuri relung-relung pemikiran orientalis yang penuh dengan jebakan dan penyesatan pemikiran. Satu persatu logika-logika orientalis, baik yang tersirat maupun yang tersurat, dikupas dan dikritisinya. Tak jarang, penulisnya menggunakan kata-kata yang lugas dan tajam dalam memberikan kritiknya.

Pada bagian tulisan ”Orientalis dan Al-Quran”, Syamsuddin mencatat: ”Dinyatakan dalam Al-Quran bahwasanya orang Yahudi dan Kristen memang tidak pernah berhenti, dengan segala macam cara, mempengaruhi umat Islam agar mengikuti agama mereka. Mereka ingin umat Islam melakukan seperti apa yang mereka lakukan, menggugat, dan mempersoalkan yang sudah jelas dan mapan, sehingga timbul keraguan terhadap yang sahih dan benar. Untuk memberi kesan seolah-olah objektif dan otoritatif, orientalis-misionaris ini biasanya berkedok sebagai pakar (expert scholars) mengenai bahasa, sejarah, agama, dan tamadun Timur, baik yang ’Jauh’ (Far Eastern, seperti Jepang, China dan India) maupun yang ’Dekat’ (Near Eastern, seperti Persia, Mesir dan Arabia).” (hal. 2-3).

Dalam kajian Al-Quran, misalnya, satu persatu orientalis yang berusaha meragu-ragukan Al-Quran dikritisi pemikirannya. Banyak orientalis memang menyerang al-Quran dengan motif dan perspektif agama mereka. Gagasan pembuatan ”Edisi Kritis al-Quran” dari Arthur Jeffery, misalnya, jelas dilatarbelakangi pola pikir kondisi Bibel. Ia bermaksud merestorasi teks Al-Quran berdasarkan Kitab al-Mashahif karya Ibn Abi Dawud as-Sijistani yang ditengarai merekam bacaan-bacaan dalam beberapa ’Mushaf Tandingan’ (rival codices). Jeffery bermaksud meneruskan usaha Gotthelf Bergtrasser dan Otto Pretzl, dua orientalis Jerman yang berjibaku mengumpulkan foto lembaran-lembaran naskah (manuskrip) Al-Quran dengan tujuan membuat Edisi Kritis Al-Quran. Namun, upaya ini gagal karena arsip-arsip di Munich hancur musnah tertimpa bom saat Perang Dunia Kedua. (hal. 5).

Dalam sejumlah CAP, kita pernah membahas, bagaimana gagasan Edisi Kritis Al-Quran kemudian dikembangkan oleh kaum liberal di Indonesia. Sejumlah dosen UIN alumni dan jebolan Jerman kini menyokong upaya pembuatan Al-Quran Edisi Kritis. Sadar atau tidak, para dosen ini sudah terjebak dalam metode pikir orientalis. Dan ironisnya, mereka bangga menjadi pelanjut pemikiran orientalis.

Sepertinya, tidak ada rasa malu lagi untuk menjadi penerus pikiran dan sikap orientalis. Bahkan, banyak yang bangga! Bangga menjadi pengkritik Islam. Umur dan waktunya dihabiskan untuk menyerang Islam. Kepandaiannya dikerahkan untuk menyerang Islam. Bahkan tidak ragu-ragu lagi untuk menyatakan bahwa banyak konsep dasar Islam yang harus dibongkar. Persis seperti apa yang digambarkan Dr. Syamsuddin Arif dalam buku ini. Jika orientalis sudah ragu dengan agama mereka, ragu dengan Kitab Suci mereka, maka mereka pun ingin agar umat Islam mengikuti jejak mereka pula.

Pada bagian ”Orientalis dan Teologi Islam”, Syamsuddin Arif mengungkap deretan karya-karya orientalis dalam bidang ini, baik yang berbahasa Inggris, Jerman, maupun Perancis. Salah satu tujuan mereka melakukan kajian yang sangat serius dalam bidang ini adalah: ”untuk menciptakan konflik dan melestarikan perpecahan di kalangan umat Islam, agar mudah untuk dikuasai berdasarkan prinsip devide et impera. Maka tidak mengherankan kalau objek kajian yang paling diminati oleh para orientalis adalah soal munculnya sekte-sekte sempalan dalam Islam.” (hal. 48).

Lebih jauh Syamsuddin menulis:

”Dengan terbitnya karya-karya tersebut, para orientalis itu bermaksud dan berhasil mengedepankan aliran-aliran sempalan yang sudah diabaikan dan dilupakan orang, mengetengahkan pemikiran-pemikiran sesat yang semula tersisih dan terpinggirkan, dan mengangkat ke permukaan sekte-sekte menyimpang yang selama ini tertekan. Ada satu pesan yang ingin mereka sampaikan, bahwasanya ajaran Islam itu tidak monolitik. Banyak terdapat perbedaan dan perselisihan di kalangan umat Islam, sehingga sejak awal sejarahnya memang sudah terpecah belah. Para orientalis tidak hanya menyoroti hal ini, tetapi juga membesar-besarkan persoalan yang tidak prinsipil.” (50).

Membaca analisis Dr. Syamsuddin tersebut kita dibuat terperangah. Inilah yang selama ini memang terjadi dan sudah puluhan tahun menjadi penyakit kronis dalam dunia Pendidikan Tinggi Islam di Indonesia. Lihatlah buku-buku sejarah dan peradaban Islam yang dijadikan buku rujukan dan diajarkan kepada para mahasiswa kita. Begitu banyak paparan tentang sejarah konflik, perang, dan kucuran darah. Seolah-olah, Islam adalah agama konflik, dan tidak ada yang patut dibanggakan dari sejarah Islam.

Sebuah buku berjudul Sejarah Peradaban Islam yang ditulis seorang guru besar di UIN Jakarta menulis tentang Sayyidina Utsman r.a. dalam gambaran yang sangat buruk, sebagai berikut:

” Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat kecewa terhadap kepemimpinan Usman adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang terpenting adalah Marwan bin Hakam. Dialah pada dasarnya yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Usman hanya menyandang gelar Khalifah. Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, Usman laksana boneka di hadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahannya. Harta kekayaan negara, oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Usman sendiri.” (hal. 38-39).

Inilah contoh cara penggambaran seorang sahabat Nabi Muhamamd saw yang sangat tidak etis dan tidak proporsional. Buku seperti inilah yang selama puluhan tahun diajarkan kepada para mahasiswa di berbagai kampus Islam. Jangan heran, jika akibatnya, banyak muncul sarjana agama yang kemudian tidak mencintai sahabat Nabi saw dan bahkan beberapa diantaranya secara terang-terangan mencaci maki mereka. Seorang mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Semarang, menulis artikel berjudul ”Pembukuan Quran oleh Usman: Sebuah Fakta Kecelakaan Sejarah”. Temannya yang lain menulis ”Kritik Ortodoksisme: Mempertanyakan Ketidakkreatifan Generasi Pasca Muhammad.” (Lihat, Jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Semarang edisi 23 Tahun XI/2003). Di pengantar Redaksinya, Jurnal ini juga menulis: ”Dari sekian tumpuk daftar ketidakkreatifan generasi pasca-Muhammad, yang paling mencelakakan adalah pembukuan Quran dengan dialek Quraisy, oleh Khalifah Utsman Ibn Affan...”

Peneliti INSISTS bidang sejarah, Asep Sobari, mengritik cara-cara pengajaran sejarah semacam itu. Dalam hasil risetnya terhadap pemerintahan Utsman r.a., Asep menunjukkan bahwa gambaran buruk para sejarawan tentang Sayyidina Utsman adalah keliru. Misalnya soal pengangkatan kerabatnya dalam jabatan kenegaraan. Berdasarkan riwayat Khalifah ibn Khayyath dan al-Thabari, Dr. Akram al-Umari mencatat, selama pemerintahannya yang berlangsung selama 12 tahun, Utsman r.a. mengangkat 34 pejabat, dan hanya 7 orang saja yang merupakan kerabatnya, yaitu Mu`awiyah ibn Abu Sufyan, Abdullah ibn Abu Sarh, Walid ibn `Uqbah, Sa`id ibn `Ash, Abdullah ibn `Amir ibn Kurayiz, Ali ibn Rabi`ah dan Marwan ibn Hakam.

Mu`awiyah ibn Sufyan, Abdullah ibn Abu Sarh dan Walid ibn `Uqbah sudah menjabat sejak masa pemerintahan Umar ibn Khaththab. Selain itu, dari empat kerabat yang diangkat langsung oleh Utsman r.a., dua diantaranya kemudian dicopot dari jabatannya, yaitu Sa`id ibn `Ash dan Walid ibn `Uqbah, setelah yang terakhir ini terbukti minum khamr dan menerima hukuman. Fakta ini menunjukkan Utsman r.a. sangat berhati-hati dan selektif dalam memilih kerabatnya yang diangkat menjadi pejabat tinggi.

Jasa-jasa Utsman r.a. terhadap Islam sangatlah luar biasa. Dia pengusaha kaya raya yang telah mewakafkan harta dan jiwanya untuk dakwah Islam. Jasa besarnya menghimpun Mushaf Al-Quran diterima oleh semua sahabat dan diakui jasanya oleh semua ulama (kecuali ulama jahat). Maka, aneh, jika ada dosen dan mahasiswa kampus berlabel Islam yang memperhinakan sahabat Nabi saw yang mulia.

Karena itulah, dengan terbitnya buku Dr. Syamsuddin Arif, maka kita perlu melakukan kerja keras untuk meneliti kembali satu persatu buku-buku teks studi Islam khususnya di Perguruan Tinggi. Dalam buku Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi (2006), saya mengungkap peringatan Prof. HM Rasjidi terhadap masuknya pola kajian orientalis di IAIN melalui buku Prof. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya – satu buku wajib dalam studi Islam sejak tahun 1973. Padahal, tahun 1975, Prof. Rasjidi sudah mengingatkan: buku ini ”sangat berbahaya”.

Ironisnya, banyak dosen dan cendekiawan Muslim lebih suka diam dan cuek terhadap peringatan Prof. Rasjidi tersebut. Banyak yang memilih menjadi penonton yang baik. Jangan heran, ”api yang dulu kecil, sekarang sudah menjadi besar”. Banyak yang belajar Al-Quran, tetapi kemudian bangga menjadi pengkritik al-Quran. Banyak yang belajar sejarah Islam, tetapi kemudian alergi dengan sejarah Islam. Banyak yang belajar syariah, tetapi membenci syariah. Sebab, cara belajar dan buku yang dipelajarinya memang sudah mengikuti pola kajian orientalis.

Karena itu, kita patut bersyukur dengan terbitnya buku Syamsuddin Arif ini. Sebuah buku yang berkualitas ilmiah tinggi. Melalui bukunya, cendekiawan Muslim asal Bewati ini telah menjebol satu mitos yang dibangun oleh kaum orientalis, bahwa sesorang tidak dapat menjadi cendekiawan yang baik (good scholar) dan muslim yang baik (good Muslim) pada saat yang sama. Syamsuddin menjebol mitos itu. Ia membuktikan, seorang bisa menjadi cendekiawan dan sekaligus Muslim yang baik, yang berpegang teguh kepada keyakinan agamanya.

Mengutip satu pepetah Jerman, dalam pengantar bukunya, Syamsuddin Arif menulis: ”Siapa membaca akan mengetahui, dan siapa menulis tak akan mati.” Umat Islam tentu bersyukur dengan terbitnya buku ini. Umat bisa berdialog dan mengenal Doktor Syamsuddin Arif melalui tulisannya, Tetapi, bisa diduga, setelah membaca buku ini, akan banyak pembaca yang penasaran ingin mengenal lebih jauh sosok penulis dan cendekiawan belia kelahiran Jakarta tahun 1971 ini. Dalam tradisi keilmuan Islam, interaksi guru dan murid memang menjadi faktor penting dalam transfer keilmuan.

Pembaca mungkin akan merindukan kucuran ilmu dari penulisnya lebih jauh. Setelah satu persatu ulama Betawi yang berwibawa meninggalkan kita, bumi Jakarta kini terasa semakin gersang dicekam kemaksiatan dan kesemrawutan pemikiran. Banyak umat kini merindukan kedatangan ulama-ulama Betawi yang kokoh dalam ilmu, keyakinan, dan amal. Maka, alangkah indahnya jika suatu ketika nanti di Jakarta berdiri sebuah pusat kajian Islam bernama: ”Majlis Ta’lim Dr. Syamsuddin Arif”.

Yang jelas, terbitnya buku Dr. Syamsuddin Arif ini telah membuktikan, bahwa masyarakat Betawi bukan hanya telah melahirkan FBR, Forkabi, dan Lenong Betawi, tetapi juga melahirkan cendekiawan dan ulama yang bermutu tinggi. Mudah-mudahan ilmunya bermanfaat dan akan terbit lagi buku-buku yang lebih berkualitas. Amin. Wallahu A’lam. [Depok, 15 Februari 2008/www.hidayatullah.com]

Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com