Selasa, 04 Maret 2008

Memerangi Teroris Perlu Grand Skenario

Indonesia telah memberlakukan UU No. 15/2003 dan UU No. 16/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Selain itu Inpres No. 04/2002 untuk menjamin adanya sinergi upaya secara komprehensif dalam pemberantasan terorisme, yang memberikan tugas kepada Menkopolkam untuk merumuskan strategi dan mengoordinasikan semua langkah-langkah operasional dalam rangka pemberantasan terorisme. Berbagai langkah telah ditempuh oleh aparat keamanan. Namun, hingga kini, terorisme masih tetap mengancam. Bagaimana sebetulnya upaya pemerintah dalam memberantas terorisme? Berikut pandangan pengamat intelijen, Wawan H. Purwanto.

Bagaimana Anda melihat strategi kebi­jakan pemerintah dalam meme­ra­ngi terorisme?

Seharusnya pemerintah mem­beri­kan payung hukum kepada dunia inte­li­jen—hal ini masih dalam tahap peng­go­do­kan dan diperkirakan akan dibahas ta­hun 2007, memberikan pembekalan kepa­da unit-unit khusus yang berada titik terdepan dalam memburu para teroris, seperti Densus 88 maupun pihak TNI yang terlibat secara aktif. Perlu disa­dari bahwa skenarionya adalah jarum jatuh pun terdengar oleh pemerintah seba­gaimana yang pernah diterapkan pada masa Orba. Pemerintah tampaknya men­coba mengkaji ulang kemungkinan diap­likasikannya strategi ini pada zaman seka­rang. Ternyata menghidupkan kem­bali Babinsa, Babinkatibnas, dan RT/RW membuat kewaspadaan terhadap sera­ngan aksi terorisme menjadi lebih baik. Di samping itu, kerjasama dengan negara-negara sahabat dan penggunaan peralatan pendeteksi, teknologi dan satelit, termasuk alat pelacak dan alat penya­dap diperlukan dalam hal ini. Karena itu, saya mengatakan bahwa dalam memerangi kaum teroris harus ada grand skenario.

Perkembangan Islam di Indo­nesia sangat pesat. Bagaimana mem­be­dakan antara Islamologi dan “Muslim ekstrem”?

Membedakan Islamologi dan ekstrimis adalah dari perilaku, ucapan, dan sikap sosial kemasya­rakat­an. Dari sini bisa kelihatan. Bisa juga dibedakan dari cara peribadatannya yang kelihatan “nyeleneh” atau tidak lazim. Ini tentu sudah menimbulkan stig­ma kenapa harus seperti itu, kenapa ber­pisah dan tidak berbaur dengan masya­rakat. Pasti ada yang disembunyi­kan. Bagi mereka yang “Islam KTP” atau Islam abangan, biasanya mereka lebih mu­dah cair karena memang memandang kemas­lahatan secara sekular. Akan tetapi kelompok ekstremis didera oleh sentimen keagamaan yang kuat, per­sau­da­raan sesama satu agama. Saat mereka me­lihat saudaranya hidup di bawah te­ka­nan, baik fisik maupun psikis, dari kelom­pok yang lebih kuat, mereka meng­aktualisasikan rasa persaudaraan mereka dengan melakukan aksi pemba­las­an, dan itu terjadi di mana-mana, ti­dak hanya di Indonesia saja. Itulah sebab­­nya, untuk mengendus rangkaian uta­manya adalah mempelajari pola ting­kah laku dan hubungan kemasyara­kat­an serta pola ibadahnya.

Tapi masalah perilaku, sikap dan ibadah yang berbeda, tidakkah dise­bab­kan karena perbedaan penafsiran ter­hadap dalil agama?

Betul, akan tetapi jika perilakunya menyendiri dan tata cara ibadahnya ber­beda, melakukan bai’at dan tidak meng­izinkan kelompoknya untuk berbaur dengan masyarakat dan menganggap yang orang di luar kelompok sebagai kafir, adalah sebuah ketidaklaziman. Ketidak­laziman inilah yang perlu kita amati dan kalau bisa kita sadarkan mereka. Dasar utama yang dilakukan oleh kelompok teroris untuk mengajak masya­rakat mengikuti pola-pola bom bunuh diri adalah dengan bai’at (Bai’at adalah sumpah dan janji setia untuk me­ma­tuhi setiap larangan dan perintah pemim­pin. Mereka menganggap bai’at sebagai sebuah kewajiban yang harus dila­kukan sebelum memasuki organisasi mereka. Karena itu, seseorang hanya sah menjadi anggota kelompok mereka sete­lah melantunkan bait-bait bai’at yang telah disediakan oleh pimpinan me­re­ka-red).

Di tahun 1970-an ada buku yang mengupas masalah terorisme, seperti Tentara Merah. Apa yang dimaksud dengan “terorisme internasional merah” dan “terorisme internasional hi­tam”?

Terorisme merah adalah terorisme yang berkembang dari negara-negara merah, yaitu negara komunis. Terorisme merah melancarkan teror karena sejarah masa lalu, yaitu Perang Dingin. Sampai sekarang masih ada negara-nega­ra yang bergaya komunis tetap melaku­kan pressure terhadap lawannya, ter­ma­suk dengan menggunakan cara-cara teror. Terorisme hitam cenderung pada gaya-gaya kriminal dan ingin me­raup keuntungan dengan cara-cara memak­sa. Terorisme hitam ini biasanya lawan dari pemerintah karena pemerintah mera­sa terganggu dengan aktivitas-aktivi­tas pelanggaran hukum kelompok tero­ris hitam. Ini sering terjadi di segi tiga emas, di mana di sana ada ladang-ladang ganja. Ada sekelompok teroris yang mempunyai armada tentara, ter­mas­uk mempunyai pasukan tank. Mere­ka bertempat di daerah pedalaman. Mere­ka membangun imperium tersen­di­ri yang tidak mau disentuh oleh kekua­sa­an, bahkan mereka siap untuk ber­tem­pur. Selain berada di segi tiga emas, mere­ka ada di Indo Cina, dan Kolombia. Sedang­kan di Brazilia ada gangsters yang sangat menakutkan, bahkan polisi takut kepada mereka.

Mengapa Anda menggunakan istilah “teroris­me hitam”?

Definisi terorisme adalah mencip­ta­kan rasa takut, mencekam, tidak percaya kepada pemerintah, maupun kepa­da aparat keamanan. Mengenai Ameri­ka, ia memang sering melakukan standar ganda dan pelanggaran hukum yang dilakukan Amerika memang sangat fatal; tidak ada restu PBB dan tuduhan yang dilontarkannya pun tidak terbukti. Inilah fakta yang tidak dapat diabaikan bahwa “yang kuat akan selalu menang” dan bahwa sejarah ditulis oleh para pemenang untuk menyudutkan yang kalah. Mengenai terorisme hitam, saya kira kita mempunyai pandangan yang ber­beda.

Tidak ada komentar: