Beberapa waktu lalu, pasca peringatan lima tahun 11/9, Al Qaeda Dr. Ayman Al-Zawahiri, tangan kanan Osama bin Laden, kembali melontarkan ancaman teror dan menyerukan kaum Muslim membuat serangan. Komentar Anda?
Sebetulnya, selama mereka masih ada, ancaman tetap ada. Termasuk di Indonesia, selama Noordin M. Top, Zulkarnaen, Abu Dujana, Umar Patek dan lain-lain belum tertangkap, maka ancaman itu tetap ada. Selama perlakuan negara-negara Barat tidak mau merangkul dan berendah hati, selama itu pula perseteruan akan terjadi. Perseteruan ini sepertinya ada yang memelihara, dengan alasan kalau dunia aman, pabrik-pabrik senjata tidak akan laku, riset-riset unggulan tidak akan terpakai, dan asuransi-asuransi besar tidak pernah tersentuh, dan lain sebagainya. Ini yang menjadi persoalan, mengapa ada kepentingan ekonomi yang bersama-sama masuk di dalamnya.
Jika demikian, benarkah ada rekayasa asing dalam aksi terorisme, termasuk penggunaan teknologi informasi?
Itu jelas ada dan tidak terbantahkan lagi. Semua itu by design dan kita harus sadari bahwa siapa pun yang pegang bola atas politik dunia adalah mereka yang kuat secara ekonomi dan militer serta intelijen. Merekalah yang memainkan bola. Ingat, bangsa yang besar adalah bangsa yang siap untuk bertempur. Bertempur dan menyerang adalah pertahanan yang terbaik. Ini adalah konsep sepak bola yang diterapkan dalam bidang politik. Oleh karena itu, Amerika selalu mendahului karena ingin memenangkan sebuah permainan ataupun pertempuran.
Bagaimana Anda melihat peran intelijen kita dalam memberantas aksi terorisme?
Intelijen kita sudah disebar sedemikian rupa. Sebetulnya masalah terorisme bukan hal baru, karena pada tahun 1994 sudah dibahas bersama dengan pejabat-pejabat keamanan Amerika. Di tahun 1994 belum ada bibit apa pun, akan tetapi terus didengungkan untuk bagaimana melakukan kontraterorisme, bagaimana menggunakan teknik propaganda untuk membendung opini dan lain sebagainya. Terorisme yang terjadi saat ini sudah diperhitungkan. Intelijen membuat “kirka”, yaitu perkiraan keadaan. Kirka ini ada yang tahunan, lima tahunan, sepuluh tahunan, bahkan ada yang dua puluh lima tahunan.
Bagi negara yang sudah mengetahui “kirka” ke depan seperti apa, ia harus mempersiapkan untuk mengantisipasinya. Di Indonesia pun sama, kita sudah melakukan hal yang sama. Hanya persoalannya, Indonesia masih diliputi oleh awan kabut masalah ekonomi. Masalah ekonomi ini sangat memberatkan. Hal ini membuat kita susah mengembangkan persenjataan karena tidak ada dukungan dana yang cukup. Radar-radar kita sudah usang. Begitu pula dengan sistem deteksi dini (early warning), kita tidak bisa membeli yang baru karena harganya sangat mahal. Peralatan kita dibeli pada tahun 1975-an sehingga sudah sangat usang sekali, bahkan ada yang jadi bangkai. Oleh karena itu, perlu ada pembaharuan laboratorium yang modern dan bisa dilakukan secara mandiri tanpa harus bergantung pada teknologi asing. Kita harus membuat sistem dan peralatan yang sesuai dengan kondisi geografis kita. Karena peralatan kita sudah usang, maka hal ini menghambat kinerja dari aparat intelijen kita.
Bagaimana Anda menanggapi penggunaan laptop oleh Imam Samudra dalam penjara? Bukankah hal ini tidak perlu terjadi di penjara yang penjagaannya super ketat?
Sebetulnya penggunaan laptop oleh Imam Samudra disebabkan keteledoran sipir penjara. Sipir penjara kita ada oknum-oknum yang bisa dibayar, seperti lolosnya tahanan kelas kakap; Gunawan Santoso dan Edy Tansil, maupun yang kecil; lolosnya pengedar narkoba, masuknya narkoba ke dalam penjara, dan lain-lain. Ini merupakan tanda bahwa memang ada oknum sipir penjara yang mempunyai mental oportunis, mereka memanfaatkan kedudukannya untuk keuntungan dirinya sendiri, tanpa melihat efek lebih jauh, yaitu kepentingan negara. Itulah sebabnya kita jangan bergerak setelah terjadi, semestinya semua itu bisa diantisipasi dan ditertibkan agar di kemudian hari tidak terjadi lagi. Misalnya pembenahan moral dan kesejahteraan agar mereka tidak tergoda menerima uang yang merugikan kepentingan negara.
Bukankah dengan adanya “kirka” aparat negara sejatinya bisa mencegah peristiwa seperti ini?
Indonesia sangat luas. Setelah UU Antisubversi telah dihapus, maka tidak ada UU yang mampu menangkap kelompok teroris sebelum ada bukti. Inilah alasan logis kenapa kita tidak sekuat Malaysia dan Singapura membentengi diri dari serangan kaum teroris. Singapura dan Malaysia mempunyai UU ISA (Internal Security Act) yang memberikan kewenangan kepada negara untuk menangkap tanpa diadili. UU Patriot X lebih gila lagi, memenjarakan orang tanpa batas waktu. Indonesia, setelah reformasi, justru mempereteli semua perangkat itu sehingga menjadi lumpuh dari segi perundang-undangan dan sampai sekarang belum ada penggantinya.
Setahun terakhir ini kita bersyukur karena bom tidak ada yang meledak di negeri ini. Apakah ini menjadi tanda karena kelompok teroris melemah atau ada hal lain?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar