Rabu, 05 Maret 2008
State Walfare, Obat Mujarab Separatisme
Menurut pengamat intelijen Wawan Purwanto dalam diskusi “Meretas Jalan Reformasi” yang digelar kemarin, pendekatan teritorial dan keamanan seperti yang dilakukan pemerintah melalui alat negara, yakni TNI dalam menuntaskan isu-isu separatisme justru akan membuat pemerintah blunder.
"Jangan hanya menggunakan pendekatan teritorial dan keamanan, karena cara seperti ini sudah tidak efektif lagi," kata Wawan Purwanto.
Ditambahkannya, pendekatan territorial dan keamanan cenderung mengggunakan cara-cara kekerasaan sehingga aksi perlawanan dari kelompok-kelompok yang berseberangan dengan pemerintah pusat akan semakin keras. Konflik pun bertambah panjang dan tajam.
"Jika menggunakan dua pendekatan ini, separatisme bakal sulit hilang. Sebab, dari sudut pandang ide dan cita-cita separatisme susah untuk dihilangkan. Karena itu, sebaiknya pemerintah menggunakan pendekatan kesejahteraan, pemikiran, dan pendidikan,” papar Wawan.
Dengan begitu, separatisme bisa dikurangi karena tidak menggunakan cara-cara represif seperti yang sudah-sudah. iga
Sumber: http://www.myrmnews.com/situsberita/index.php?pilih=lihat_edisi_website&id=49206
Wawan Purwanto: Tragedi Semanggi Tak Selesai Dengan Peringatan
Metrotvnews.com, Jakarta: Pengamat intelijen dan luar negeri, Wawan H. Purwanto mengatakan Tragedi Semanggi tidak akan bisa terselesaikan dengan upacara peringatan saja. Ia menyarankan keluarga korban tragedi tersebut harus menempuh upaya hukum untuk menyelesaikan kasus ini. "Kalau secara hukum tidak ditempuh, hanya perayaan akhirnya terlupakan. Bangsa kita kan gampang lupa," ujarnya di tengah pelaksanaan peringatan tragedi tersebut di Jakarta, Sabtu (22/9).
Tragedi Semanggi menunjuk kepada dua kejadian pada masa transisi. Kejadian pertama dikenal dengan Tragedi Semanggi I pada 11-13 November 1998. Kejadian kedua dikenal dengan Tragedi Semanggi II pada 24 September 1999. Sejumlah orang tewas dan terluka termasuk mahasiswa dalam dua kejadian tersebut.(BEY
Terorisme Dompleng Agama dan Kemiskinan
Jakarta-Terorisme yang menggunakan ajaran agama sebagai alat penyebarannya lebih berbahaya dari penyebaran ideologi. Bahkan, ditengarai penyebaran terorisme melalui kedok agama ini akan makin intensif di Tanah Air. Oleh karenanya, pemerintah dan kalangan pemimpin agama harus ekstrahati-hati menangani hal ini. Apalagi, penyebaran ajaran ini kerap mendompleng kondisi kemiskinan yang dialami masyarakat. Demikian dinyatakan oleh mantan Panglima Laskar Jihad Jafar Umar Thalib dan pengamat intelijen Dr Wawan Purwanto, dalam kesempatan terpisah, Senin (19/3).
”Kelompok teroris ini sangat licik karena mereka menipu ajarannya dengan diberikan label-label Islam. Soal pendanaan kelompok ini akan melakukan apa saja termasuk perampokan akan dinyatakan halal dengan dalih demi Islam,” tukas Jafar Umar.
Jafar menjelaskan kekerasan yang terjadi di Poso dan Ambon adalah wujud dari keinginan teroris menyebarkan ajarannya. Ia pun menuding adanya kelompok tertentu yang bertameng di balik dalil “penegakkan syariat Islam” untuk menyebarkan ajaran bernuansa terorisme yang tak sejalan dengan nilai-nilai Islam.
“Kelompok ini sangat licik karena memperalat agama untuk tujuan tersembunyi. Rata-rata orang Islam di Indonesia sebenarnya tidak bisa menerima ajaran kekerasan yang dikembangkannya, tapi dalam jangka panjang, ajaran seperti ini tidak mustahil akan diterima meski sangat terpaksa,” katanya.
Sementara itu, pengamat intelijen Dr Wawan Purwanto menjelaskan, maraknya teror melalui pesan pendek (SMS) yang kini melanda Jakarta dan sejumlah daerah adalah upaya uji coba kegiatan terorisme di sejumlah wilayah di Indonesia. Wawan mengingatkan, ancaman terorisme tersebut sebenarnya bisa diprediksi oleh aparat keamanan dan kalangan intelijen. “Kegiatan itu bisa diukur, biasanya terkait dengan ulang tahun aksi teror, yang jatuh pada bulan April,” jelasnya. (rikando somba)
Sumber: Sinar Harapan, 20 Maret 2007
Indonesia Tidak Boleh Anggap Ringan Ancaman Teror Pada Bulan Ini
Pengamat Intelejen, Wawan Purwanto :
Indonesia Tidak Boleh Anggap Ringan Ancaman Teror Pada Bulan Ini
Dewi Rahmawati - Jakarta, Indonesia tidak boleh menganggap ringan isu ancaman teror pada bulan April ini yang merupakan sinyalemen dari Australia.
Hal tersebut diungkapkan Pengamat Intelejen, Wawan Purwanto dalam sebuah diskusi di Gedung Jakarta Media Centre (JMM), Kebon Sirih Jakarta Pusat, Sabtu (1/4) malam ini.
Ia mengatakan, data dari luar negeri tidak selalu akurat, seperti rumor akan terjadinya ledakan di Hilton Surabaya, Jakarta dan Bali beberapa waktu yang lalu, namun Indonesia tidak boleh menganggap enteng rumor ancaman teror di bulan April yang merupakan sinyalemen dari Australia.
Wawan menjelaskan, pihak asing yang memperingatkan warga negaranya itu merupakan kewajiban bagi mereka, akan tetapi aparat kepolisian RI sudah mempunyai analisis sendiri dan saat ini sudah melakukan Blocking Plan A, Plan B dan Plan C.
Berdasarkan analisis yang dilakukannya, Wawan mengungkapkan, daerah potensial yang menjadi ancaman teror adalah Jakarta, Bali, Semarang dan Surabaya.
Lebih lanjut Wawan menambahkan, teroris tersebut bergerak memanfaatkan situasi dan mereka bergerak justru menciptakan alibi-alibi. "Alibi itu merupakan momen yang tepat bagi teroris untuk mengais di air keruh," tambahnya. (dir)
Indonesia Sudah Sangat Membutuhkan UU Intelijen
Indonesia sudah sangat membutuhkan UU Intelijen karena kondisi negara yang rawan ancaman terorisme dan tindakan destruktif lainnya.
"Kebutuhan UU Intelejen sudah sangat mendesak karena jika menunggu sesuai aturan yaitu diajukan pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebelum 2007, maka UU Intelijen itu baru 2009 dapat kita memiliki," kata pengamat masalah intelijen Wawan Purwanto di Jakarta, Jumat.
Alasannya, jika rancangan UU tersebut diajukan pada 2007 maka pembahasannya pada 2008 dan baru pada 2009 bisa diberlakukan. Sementara kondisi di lapangan sudah sangat memerlukannya mengingat potensi konflik serta aksi terorisme terus mengancam.Dia menilai jika memungkinkan pada akhir 2005 hendaknya sudah bisa ditetapkan untuk membahas konsep (draft) RUU yang sudah ada pada tahun 2006.
Dia menjelaskan aturan hukum (Keppres) yang dimiliki Indonesia masih sangat lemah, terutama jika dibandingkan dengan "Patriot Act" di Amerika Serikat dan UU sejenis di Inggeris dan Australia, termasuk "Internal Security Act" (ISA) Malaysia."Patriot Act" memiliki wewenang menahan seseorang yang diduga teroris hingga tiga tahun, ISA bisa menahan hingga dua tahun, sementara BIN Indonesia tidak mempunyai wewenang untuk menangkap tersangka.
Ketika ditanya tentang kelayakan Indonesia untuk kembali ke UU Antisubversif, Wawan mengatakan tidak demikian karena pada UU Subversif ada pasal-pasal "karet" yang bisa berdampak negatif."Kita memerlukan UU Intelijen yang lugas yang menjelaskan hak dan wewenang badan intelijen untuk mencegah terjadinya aksi teroris dan aksi lainnya yang merugikan dan mengancam negara," katanya.
Dia menjelaskan, saat ini aparat intelijen gamang untuk bertindak karena khawatir menghadapi tuduhan melanggar Hak Asasi Manusia."Akibatnya, aparat intelijen menjadi skeptis," katanya. Ketika ditanya, perlunya melibatkan orang-orang yang benar-benar mengenal dunia intelijen dalam penyusunan UU Intelijen, Wawan mengatakan memang sebaiknya demikian, karena pemerintah dan DPR tidak bisa hanya mengandalkan kalangan akademisi yang tidak mengetahui medan intelijen Indonesia yang sesungguhnya dan perkembangan dunia intelijen dunia.
"Juga jangan sampai ada tuduhan bahwa masukan dari para penyusun UU Intelijen itu adalah pesanan dari pihak luar (asing) yang justeru membuat UU Intelijen itu tidak efektif."Dia menyebut sejumlah nama yang layak dipertimbangkan sebagai narasumber, yakni Wirawan Soekarno (dedengkot intelijen)dan Bom Suryanto (mantan orang intelijen).Wawan Purwanto juga termasuk salah seorang penyusun "draft" intelijen pada 2003.
Menurut Wawan yang juga dosen Sekolah Intelijen Indonesia, "draft" yang disusunnya kini sudah jauh berbeda.Beberapa hal yang menjadi polemik dari "draft" tersebut adalah kewenangan menangkap dan pengadaan senjata. Dalam dunia intelijen kewenangan menangkap, yang dimiliki sebagian besar lembaga-lembaga intelijen di dunia, merupakan upaya preventif.
Dalam kondisi seperti ssekarang, dia menilai pemerintah dan DPR perlu memperkuat lobi antar pihak terkait agar UU Intelijen segera dibahas dan diundangkan.Sebelumnya, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar mengatakan pemerintah dan DPR sudah saatnya membahas RUU tersebut agar kinerja lembaga tilik sandi itu semakin optimal, khususnya dalam upaya deteksi dini dan pencegahan aksi terorisme. ant/mim
sumber: http://www.ham.go.id/index_HAM.asp?menu=artikel&id=651
Selasa, 04 Maret 2008
Menguak Tabir Terorisme di Indonesia
Bagaimana Anda melihat fenomena terorisme dewasa ini, baik dalam skala nasional maupun internasional?
Terorisme adalah masalah lama dan tidak akan dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat karena akarnya tidak tercabut. Karena itu, Tertangkapnya Abu Dujana, bukanlah akhir terorisme di negeri ini. Walaupun, misalnya, Noordin M. Top juga tertangkap, aksi terorisme akan tetap ada di negeri ini. Permasalahannya tidak terletak di kedua orang ini, tapi adanya ketidakadilan. Ketidakadilan global memang menjadi salah satu unsur yang membuat aksi teror berkembang biak. Permasalahan ini bermula dari ketidakadilan yang diterima oleh para pejuang di Afganistan. Para pejuang ini berjibaku mengusir Uni Soviet dari Afganistan dengan bantuan penuh Amerika. Para pejuang ini dididik teknik-teknik militer oleh pelatih militer handal dari Amerika dan CIA. Pasca runtuhnya Uni Soviet, para pejuang ini berbalik menjadi lawan Amerika karena perbedaan kepentingan. Dari sanalah konflik ini bermula kemudian bertambah runyam saat Amerika mendukung Israel secara membabi buta, menyerbu Afganistan, dan juga Irak.
Bukankah Indonesia tidak ada hubungannya dalam masalah ini. Kenapa Indonesia kemudian dijadikan ajang teror?
Permasalahan ini merembet ke Indonesia karena memang ada yang menyeret permasalahan ini. Para pelaku teror ini menjadikan Indonesia sebagai dar al-harb (medan pertempuran), dengan alasan jika mereka berhadapan secara langsung dengan Amerika maka mereka akan kalah. Karena itu, mereka menggunakan taktik hide and run (sembunyi dan lari). Hide and run itu terjadi di negeri kita dan ternyata aksi mereka tidak ditujukan langsung kepada lawan tetapi kepada orang-yang tidak tahu-menahu, meskipun mereka orang asing. Tapi orang asing yang tidak berkait langsung dengan persoalan mereka. Saat ini masyarakat dunia merindukan tatanan dunia yang damai, sayangnya keinginan ini tidak tercapai karena ulah para penebar teror ini.
Perilaku yang menyimpang, seperti yang sekarang ini terjadi di Timur Tengah. Istilahnya “Asu Gede Menang Keray”, anjing yang besar jika berkelahi pastilah menang. Kelompok yang kecil yang merasa terpinggirkan, merasakan bahwa kepentingannya tidak terakomodasi sehingga dicarilah cara-cara nonkonvensional untuk menyuarakan aspirasi dan tuntutan mereka yang selama ini merasa tertekan dan terpojok. Mereka juga mengarahkan kebencian mereka dalam bentuk teror. Inilah yang saya sebut rasa ketidakadilan dan adanya permusuhan yang direkayasa oleh kelompok kuat terhadap kelompok yang lemah demi suatu kepentingan. Hal ini kemudian bermuara pada aksi-aksi teror, baik berupa bom maupun psikis.
Apakah kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di Indonesia berkaitan dengan kelompok ini?
Indonesia sejak tahun 1998 berada situasi kacau. Kekacauan ini bermuara pada masalah sara. Permasalahan sara kemudian dijadikan ajang balas dendam yang pada akhirnya berbuntut pada masalah agama. Kelompok yang bertikai menarik agama ke dalam arena konflik guna menarik dukungan dari umat beragama. Dari konflik bernuansa agama inilah kelompok teror ini masuk dan menjadikan Indonesia sebagai ajang pertempuran mereka yang membuah aksi teror di negeri ini. Aksi teror di Indonesia begitu panjang karena didalamnya sudah terlapus dendam. Inilah yang sekarang ini kita hadapi dan inilah yang menjadi PR kita bersama.
Apakah aparat keamanan tidak bisa menyelesaikan masalah ini?
Pendekatan keamanan atau militeristik tidak mampu menyelesaikan masalah. Karena aparat keamanan hanya bisa menyelesaikan seperenam masalah, lima seperenamnya lagi diselesaikan secara bersama-sama. Karena itu, saya menyatakan tekanan-tekanan yang sifatnya penegakkan hukum saja ternyata tidak cukup untuk menghentikan cita-cita mereka, karena cita-cita itu tidak mati hanya karena meninggalnya mereka atau tertangkapnya.
Lantas, apa yang mesti dilakukan pemerintah?
Membenahi masalah ekonomi, menanamkan pemahaman agama yang benar, menegakkan keadilan dan supremasi hukum, dan juga membenahi akhlak para politisi kita. Saat ini, ada kelompok-kelompok yang memanfaatkan isu terorisme untuk mengusung kepentingannya.
Yang anda maksud isu politik dalam negeri?
Ya, politik dalam negeri dan politik global. Kita tahu bahwa sebetulnya ada kepentingan luar negeri yang tidak ingin Indonesia ini aman dan stabil. Karena kalau Indonesia stabil, dianggap sebagai ancaman karena Indonesia adalah negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia. Instabilitas Indonesia inilah yang mereka harapkan. Karena negara yang tidak stabil tidak akan mengalami pertumbuhan sehingga tidak mempunyai nilai jual di mata masyarakat internasional. Inilah sebabnya ada usaha-usaha untuk menggoyang pemerintah agar instabilitas tetap terjaga sehingga Indonesia tidak akan berkembang. Dan pemerintah sibuk mempertahankan posisinya sehingga agenda pembangunan dan pemberdayaan masyarakat menjadi buyar. Orang yang menskenario ini sudah tahu bahwa ada sebagian dari kita bisa dibeli dan dibenturkan dengan kelompok lain guna menciptakan instabilitas. Para “penggadai bangsa” ini ada di mana-mana, baik di birokrasi maupun yang berada di DPR, LSM, masyarakat maupun kekuatan-kekuatan yang saya sebut dengan 5M.
Apa yang Anda maksud dengan 5M?
5M itu adalah mahasiswa, Muslim, media masa, militer dan money. 5M inilah yang akan digoyang terus menerus untuk menciptakan lini-lini yang berbenturan dan berbau teror. Kelompok Muslim adalah kelompok yang paling efektif untuk digoyang karena ada picu yang bisa dipakai yaitu dengan atau melalui kelompok teroris.
Anda sudah melihat sejauh itu, tapi apakah aparat inteligen kita melihat seperti yang anda lihat?
Sebetulnya inteligen kita sudah melihat itu secara jeli. Dari beberapa paparan di DPR, antara aparat dengan DPR, hal ini sudah terungkap dan disampaikan. Ini merupakan early warning. Semuanya sudah tahu, yang terpenting adalah problem solving-nya. Banyak di antara kita yang tidak berpikir masalah problem solving, kalau problem solving tidak terselesaikan maka hal ini tidak akan terpecahkan. Karena itu, saya menduga akan terjadi kerusuhan yang lebih dalam dan negeri ini akan carut marut. Dan saya menduga adanya Balkanisasi di Indonesia.
Apa solusi yang Anda tawarkan agar tidak terjadi Balkanisasi di negeri ini?
Mempererat persatuan dan saling percaya. Kita tidak bisa memasrahkan masalah ini kepada aparat keamanan saja. Karena aparat keamanan tidak bisa menyelesaikan masalah secara keseluruhan. Seluruh komponen bangsa harus juga ikut berperan. Kita juga harus menyelesaikan masalah secara holistik, tidak parsial.
Pendekatan Holistik seperti apa?
Kerusuhan atau bentrokan yang terjadi di masyarakat tidak bisa hanya dipecahkan dari sudut keamanan saja. Perlu juga pembenahan-pembenahan dari sisi ekonomi, misalnya menghapus kesenjangan ekonomi yang begitu dalam terjadi di negeri ini. Karena salah satu akar masalah di negeri ini yang sampai saat ini tidak tertuntaskan adalah kesenjangan yang akut antara si miskin dan si kaya. Saat ini, dilihat dari sisi ekonomi makro, kita memang bagus. Tapi mikro ekonomi kita, kelimpungan. Padahal mikro ekonomi inilah yang langsung dampaknya terasa oleh masyarakat. selain itu, kita harus pahami, masyarakat yang tinggal di daerah-daerah kantong kemiskinan sangat mudah dihasut oleh kelompok-kelompok tertentu untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak baik, termasuk aksi terorisme dengan menyelewengkan ajaran agama. Jadi saat ini ada Snouck Hurgronje-Snouck Hurgronje baru yang menyelewengkan ajaran agama untuk mendukung kepentingan mereka. Kita harus sadari bahwa kemiskinan ini adalah incaran empuk di-brainwash (cuci otak).
Bisa Anda berikan contohnya?
Saya sudah melakukan penelitian-penelitian tentang masalah kemiskinan dan aksi terorisme. Misalnya Hari Golon yang tewas dalam bom JW Mariot. Bapaknya adalah seorang kuli panggul di sebuah pelabuhan dan ia punya utang 150 ribu saja tidak bisa bayar. Akhirnya hutangnya dibayari dan ia melakukan aksi di JW Marriott. Kondisi ekonomi yang demikian membuat seseorang sangat mudah jatuh dalam aksi terorisme. Hal ini yang harus kita sadari dan perlu secepatnya kita atasi. Itu sebabnya saya sekarang ikut membina ekonomi pesantren. Saya mulai membina dari usaha kecil menengah di berbagai daerah yang menjadi kantong-kantong kemiskinan. Mereka saya berikan dorongan yang sifatnya managemen dan saya dorong dari sisi mitra, modal, motivasi, dan patnership-nya, termasuk market yang saya ciptakan. Itulah sebabnya, cara mengatasi kemiskinan ini tidak bisa dilakukan sendirian. Karena itu, saya mencoba menggandeng banyak pihak mulai dari NU, Muhammadiyah, Majelis Ulama, Depag dan Pemda. Kalau bangsa Indonesia sudah makmur maka sangat sulit untuk dipengaruhi. Inilah yang menjadi PR kita bersama.
Bagaimana Anda melihat sosok Abu Dujana, benarkah ia lebih berbahaya daripada Noordin?
Pengalaman Abu Dujana sangat luas. Abu Dujana mempunyai pengalaman tempur yang luas di Afganistan, ia cepat menyerap pelajaran-pelajaran infantri, dan pengalaman ia selama melakukan operasi petempuran di daerah terbuka di Afganistan memang cukup teruji. Prestasi inilah yang menyebabkan abu Dujana mempunyai kesempatan untuk langsung ketemu, misalnya, dengan Osama (selain itu, Abu Dujana menguasai empat bahasa; Sunda, Indonesia, Arab, dan Inggris-red). Abu Dujana di bidang managemen dan taktik bertempur secara terbuka. Kalau Noordin M. Top, ia bertugas mencari pengikut atau mem-brainwash, disamping ia juga ahli dalam pembuatan bom seperti Azhari. Kalau kita lihat, merakit bom itu tidaklah sulit, yang terpenting bahan bakunya cukup, detonatornya ada. Abu Dujana lebih mengusai dari segi strategi ketimbang Noordin yang lebih cendrung pada hal-hal yang sifatnya brainwash.
Apakah Noordin dan Abu Dujana ini adalah dalang di balik aksi teror di Indonesia?
Saya melihat mereka juga operator lapangan, meskipun Noordin posisinya lebih rendah dari Abu Dujana. Tetapi semuanya ini taktik dan strategi harus ada di satu tangan, di mana tangan pengendalinya ini ada ditangan Abu Dujana. Kita harus hati-hati bahwa mereka tidak akan mengungkap semua. Saya cuma melihat beberapa indikasi. Pertama, dengan tidak melakukan bom bunuh diri dan tidak melakukan hara kiri, saya melihat militansinya sudah menurun. Kedua, informasi tidak akan kita dapatkan dari Abu Dujana tidak mungkin seratus persen. Maksimal kita bisa mendapat informasi empat puluh persen dan enam puluh persennya lagi disembunyikan oleh Abu Dujana. Enam puluh persen inilah yang meliputi dari dua pertiga dari kekuatan mereka yang sampai saat ini belum terungkap. Karena itu ancaman teror masih mengintai kita.
Setelah Abu Dujana tertangkap, menurut Anda, apa yang dilakukan kelompok pelaku teror ini saat ini?
Saat ini mereka sedang tiarap. Barangkali dalam tempo 3 bulan mereka akan menghilang dan menghilangkan jejak serta akan menghapus kontak-kontak person, terutama dari elektronik. Penghilangan jejak ini adalah upaya-upaya untuk melakukan mengelabui aparat dan mereposisi rencana mereka yang tidak dilakukan. Misalnya mereka mempunyai rencana A, B, berubah ke rencana C. Abu Dujana memang membeberkan posisinya, tapi menyangkut posisi Noordin, saya kira ia tidak akan membukanya. Dan inilah yang mesti harus diperhatikan oleh aparat.
Apa tanggapan Anda dengan tindakan pemerintah Australia membocorkan penangkapan Abu Dujana?
Australia tidak etis dan ini sangat kita sesalkan bisa terjadi. Pihak Australia sudah membocorkan kepada publik bahwa Abu Dujana telah tertangkap sebelum aparat kepolisian kita mengabarkannya ke publik. Hal ini sangat merugikan pihak kepolisian, karena penangkapan Abu Dujana memang sengaja ditutup-tutupi oleh aparat kepolisian kita. Kita harus mengerti bahwa tidak dalam setiap operasi penangkapan harus terbuka. Seperti yang terjadi di Thailand. Aparat Thailand terlibat saling menembak dengan teroris. Kemudian pemerintah Thailand mengumumkan bahwa bahwa teroris telah terbunuh semua. Padahal kenyataannya tidak demikian. Ini dilakukan sebagai upaya deception (muslihat/tipuan), sehingga lawan-lawan yang belum tertangkap tidak lari. Strategi inilah yang dipakai oleh aparat kita. menyembunyikan penangkapan Abu Dujana agar yang teman-teman Abu Dujana tidak kabur.
Jadi, lebih tepat Abu Dujana ini disebut sebagai tokoh utama dibanding dengan Noordin M. Top. Begitu menurut Anda?
Abu Dunaja bukanlah tokoh utama, tapi kedudukannya lebih tinggi dari Noordin. Nantinya kita akan bertemu dengan Abu Dujana-Abu Dujana baru karena dalam sebuah akademi, tidak hanya mendidik satu dua orang murid. Tapi mempunyai banyak murid. Dan alumnus akademi ini telah menyebar ke berbagai penjuru bumi. Karena itu, tertangkapnya Abu Dujana bukanlah akhir dari terorisme. Memang saat ini yang paling menonjol adalah Abu Dujana, tapi teman-teman sealmamater bisa mengembangkan diri mereka sehingga kualitas mereka menyamai atau melebihi Abu Dujana nantinya.
Australia adalah pihak yang pertama kali mengungkapnya tertangkapnya Abu Dujana kepada publik. Dari sini kemudian muncul anggapan bahwa penangkapan Abu Dujana adalah pesanan asing. Tanggapan Anda?
Selama ini telah terjalin kerjasama antara negara-negara ASEAN dengan Australia. Tidak hanya dalam peralatan, tapi juga dalam tukar-menukar informasi. Hanya persoalannya, informasi ini ada yang bisa dibuka kepada publik atau tidak. Dalam kasus Abu Dujana, pihak Australia yang pertama kali memberitahukan kepada publik. Ini hanyalah masalah koordinasi yang kurang baik. Bukan penangkapan Abu Dujana adalah pesanan Australia.
Koran Tempo pada tanggal 20 Juni memberitakan bahwa peranan satelit Amerika sangat berperan dalam membantu Polisi Federal Australia mengendus keberadaan Abu Dujana melalui signal HP-nya. Kenapa Polisi Federal Australia bisa terlibat?
Karena penangkapan Abu Dujana adalah operasi bersama aparat kepolisian kita dengan Australia. Operasi bersama ini telah terjalin lama. Saat menangkap Imam Samudra, pihak Australia juga ikut kerja bareng dan memberikan bantuan peralatan pelacak signal. Bantuan alat pelacak signal ini sangat membantu aparat dalam menangkap Imam Samudra. Waktu itu, semua aparat keamanan lari ke Bekasi, tiba-tiba diberi tahu bahwa Imam Samudra membuka handponenya di Merak. Kemudian aparat berputar ke arah Merak dan melakukan penghadangan di sana sehingga Imam Samudara bisa tertangkap. Dari sini kita harusnya sadar bahwa antara aparat kita dengan Australia telah terjalin hubungan yang lama. Karena itu, kita tidak bisa menyatakan bahwa penangkapan Abu Dujana pesanan pihak asing. Sebenarnya, tertangkapnya Abu Dujana pada hari Sabtu kemudian Australia langsung mengumumkannya adalah untuk konsumsi publik Australia. Hanya, persoalannya pihak Australia tidak terlebih dahulu mengkoordinasikannya dengan aparat kita. Karena aparat kita tidak mau melansir penangkapan Abu Dujana ke publik sebagai strategi agar para tersangka lain tidak kabur. Jadi, ini hanya masalah koordinasi dan mis-komunikasi saja.
SMS Interaktif
Bapak Makruf, JambiPolisi tidak becus menangkap Noordin M Top, karena itu mereka lantas mengatakan Abu Dujana lebih berbahaya dari Noordin. Tanggapan Anda?
Dilihat dari struktur kepengurusan (JI-red) Abu Dujana lebih tinggi posisinya dari Noordin. Kalau saya lihat, penangkapan Noordin hanyalah masalah waktu. Pada waktu penangkapan Dr Azahari di Batu, Malang, sebenarnya aparat juga mau menangkap Noordin. Saat itu, aparat tidak segera menyergap karena ingin Azahari dan Noordin keduanya berada di dalam rumah agar bisa ditangkap secara bersamaan. Tapi, kurir yang disuruh ke Semarang untuk menemui Noordin, ternyata balik arah dan kembali ke Batu. Kemudian aparat menyimpulkan bahwa informasi penangkapan telah bocor dan memutuskan untuk segera menangkap Azahari walaupun Noordin tidak bersamanya karena lebih baik menangkap satu orang dari pada tidak sama sekali.
Noordin sampai saat ini masih selamat dan ia bergerak ke mana-mana. Polisi sudah mengejarnya sampai ke Banjar Negara tapi ia lari ke gunung. Noordin juga sempat “lari-lari siang” di daerah Magelang, Yogyakarta, sampai ke Jawa Timur kemudian ia balik lagi ke Banyumas. Sekali, menurut saya, penangkapan Noordin hanyalah masalah waktu saja.
Abu Bakar Ba’asyir sempat dituduh sebagai dalang di balik Bom Bali I. Tapi pengadilan memutuskan Ba’syir tidak terlibat. Mungkinkah posisi Noordin seperti Ba’asyir. Ia dituduh melakukan aksi pemboman yang tidak pernah ia lakukan.
Kita ingin menyelesaikan masalah ini di Pengadilan. Kita juga menghimbau Noordin, dari pada terus “lari-lari siang” lebih baik menyerah dan diselesaikan di pengadilan. Kalau memang ia tidak bersalah, ungkaplah buktinya di pengadilan sebagaimana Ustad Abu Bakar Ba’asyir yang terbukti di pengadilan tidak bersalah dan hanya melakukan pelanggaran keimigrasian. Kalau pengadilan tidak menemukan bukti bahwa Noordin terlibat dalam aksi terorisme di Indonesia, tentu ia akan menjadi orang bebas. Kita ingin menjernihkan masalah.
Tapi yang perlu kita garisbawahi, penangkapan-penangkapan yang dilakukan oleh aparat juga harus berdasarkan prosedur. Penangkapan-penangkapan yang menyalahi prosedur justru menodai prestasi aparat keamanan. Karena itu, kita menghimbau aparat keamanan melakukan pembenahan-pembenahan. Meskipun demikian, kita harus menyadari bahwa dalam sebuah operasi terkadang kecepatan sangat dibutuhkan. Daripada mengepung dulu untuk membuat surat penangkapan kemudian lolos, bukanlah lebih baik ditangkap terlebih dahulu. Tapi surat penangkapan tetap harus diserahkan dalam 7 X 24 jam sebagaimana aturan yang berlaku. Hal ini bisa memberi pelajaran kepada masyarakat bahwa negeri adalah negeri hukum. Karena itu, penyelewengan dari prosedur harus diminimalisir agar pembelajaran taat hukum kepada publik bisa membawa dampak yang lebih baik. Aparat bisa saja berkilah bahwa penyelewengan mereka dilakukan untuk memberikan perlindungan publik yang lebih luas. Alasan ini memang benar, tapi pembelajaran kepada publik untuk taat aturan juga perlu mendapatkan perhatian.
Bapak Samsul, Klender, Jakarta
Menurut Menhankam Juwono Sudarsono, selama kemiskinan dan pengangguran di Indonesia merajalela, maka Indonesia adalah ladang subur bagi persemaian benih-benih terorisme. Karena kemiskinan mengakibatkan orang frustasi sehingga gampang terjebak dalam aksi-aksi teror. Di Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam tidak ada teroris karena negara-negara tersebut adalah negara makmur. Tanggapan Anda?
Memang tingkat pengangguran di Indonesia sangat tinggi. Ada 41,9 juta pengangguran. Angkatan kerja mencapai 100,8 juta, sementara pertumbuhan ekonomi mencapai 5 atau 5,5 persen. Pertumbuhan ekonomi 1 persen bisa menyerap 200-300 ribu orang. Dengan pertumbuhan ekonomi hanya 5 persen, maka angkatan kerja yang tertampung hanya satu juta angkatan kerja. Besarnya angka pengangguran memang menjadi persoalan tersendiri dan menjadi lahan empuk terjadinya aksi teror.
Apakah hanya faktor kemakmuran yang menyelamatkan Singapura dan Malaysia dari aksi terorisme?
Saya kira tidak. Kemakmuran hanyalah salah satu faktor dari beberapa faktor yang menyelamatkan Singapura dan Malaysia dari aksi terorisme. Singapura dan Malaysia mempunyai UU Internal Security Act (ISA). Berdasarkan UU ini, mereka bisa menangkap dan memenjarakan selama dua tahun orang yang terindikasi terlibat dalam aksi terorisme tanpa pengadilan. Sedangkan pemerintah Indonesia tidak bisa berbuat demikian. Semenjak UU Anti Subversi dicabut, pemerintah tidak mempunyai payung hukum untuk melakukan itu. Pemerintah hanya bisa mengawasi orang-orang yang disangka terlibat dalam aksi terorisme. Orang dipenjara bisa lolos, apalagi hanya diawasi. Ini yang menjadi salah satu permasalahan yang dihadapi bangsa ini dalam mengamankan Indonesia dari ancaman teror.
Kalau Indonesia, misalnya, sudah mempunyai hukum ISA seperti di Malaysia dan Singapura, apakah kemiskinan tidak perlu diberantas untuk mengamankan Indonesia dari aksi teror?
Tidak seperti itu, kemiskinan juga harus diatasi guna memberantas aksi teror. Saya ingin ada kebersamaan. Kalau saya membina ekonomi pesantren dan UKM-UKM, saya harap yang lain melakukan hal yang sama agar kita bisa segera terbebas dari kemiskinan yang menjadi salah satu sumber aksi-aksi terorisme. Saya sekarang membina 500 UKM. 70 persen jalan, sementara yang 30 persen lainnya terseok-seok. Sekarang saya coba masuk dalam ekonomi pesantren dan saya lakukan pembinaan-pembinaan. Saya mengajak berbagai organisasi massa dan juga pemerintah untuk melakukan hal ini. Saya ingin ada ketulusan melangkah bersama ke arah sana. Hal ini tidak bisa dilakukan dengan bersifat politis, lips service atau hanya untuk menunjukkan kepedulian semata. Jadi, kita membutuhkan tekad bersama untuk memberdayakan ekonomi rakyat. Sekecil apa pun hasilnya, kalau dilakukan bersama-sama dengan memberi contoh dan memberikan motivasi kepada masyarakat untuk bangkit dari kemiskinan, insya Allah kita akan berhasil mengubah kantong-kantong kemiskinan menjadi kantong-kantong kemakmuran.
Kenapa Malaysia dan Singapura bisa menjadi negara Makmur, sementara kita tidak?
Masalahnya terletak pada jumlah penduduk. Singapura penduduknya berjumlah 4 juta, sementara Malaysia berjumlah 17 juta. Sedangkan negera kita, jumlah penduduknya 220 juta. Dengan jumlah penduduk sebanyak ini, memberantas kemiskinan di negara ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Selain jumlah penduduk yang banyak, 80 persen penduduk negeri hanya mengenyam pendidikan dasar. Angka kemiskinan di negeri ini sangat menyedihkan. Sementara itu, sebagian dari kita yang mempunyai duit lebih menyimpan uangnya di Singapura yang mencapai jumlah Rp 670 Trilyun. Ini sangat ironis sekali.
Bisakah kita mengatakan mereka ini tidak nasionalis?
Benar. Dari sisi nasionalisme, sangat bertolak belakang sekali. Kalau kita sendiri tidak berusaha mengatasi kemiskinan, apalagi investor. Kita berharap agar para investor masuk ke negeri ini, sementara uang kita sendiri disimpan di negeri orang. Inilah kondisi yang mesti kita benahi agar mereka, para anak bangsa segera menarik uangnya dari luar negeri dan diinvestasikan di negeri sendiri agar roda perekonomian kita bisa segera bangkit sehingga permasalahan terorisme bisa segera kita atasi. Permasalahan lain, kita telah mempunyai MoU (Memorandum of Understanding) dengan Cina sebanyak 150 MoU. Tapi kenapa MoU ini tidak segera kita laksanakan. Kita malah berharap dengan Amerika. Memang Amerika banyak memberikan janji untuk berinvestasi, tapi tidak terealisasi. Saya mengatakan, jangan terlalu berharap pada bangsa bangsa luar, kita juga harus bangkit sendiri. Saya sangat sedih ketika ada yang mengatakan bahwa dalam masalah duit, tidak ada nasionalisme. Mereka mengatakan duit mengalir seperti air, ia akan mencari tempat rendah. Artinya, mereka akan menginvestasikan duitnya yang dianggap oleh mereka menguntungkan. Kalau bangsa sendiri tidak berjibaku memberantas kemiskinan di negeri ini, dan malah menyimpan uangnya di luar negeri, maka aksi terorisme akan terus subur di negeri ini.
Bapak Udut, Bandung
Saya melihat bahwa bangsa ini sedang diadu domba oleh Barat. Tanggapan Anda?
Memang saya melihat hal yang sama, ada skenario politik belah bambu di negeri ini. Sebelum meletus kerusuhan Poso pada bulan Januari lalu, sebulan sebelumnya saya diundang ceramah oleh Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan kelompok Islam garis keras lainnya, di situ saya meminta mereka untuk menyampaikan kepada para ulama di Poso agar mereka tidak terpancing karena nanti pada waktu lebaran akan meletus peristiwa besar. Peristiwa besar ini oleh orang yang waktu itu datang dari Singapura dan rapat di salah satu hotel terkemuka di Jakarta. Habis rapat ia kembali lagi ke Singapura. Dan ternyata setelah itu meletuslah peristiwa besar. Pada waktu ustad Adnan Arsal datang ke Jakarta untuk berbicara dalam sebuah seminar bersama saya, saya tanyakan, apakah pesan saya disampaikan kepada dia. Dia jawab, pesan tidak sampai dan kalau sampai ia tidak akan terpancing. Karena itu, saya menyatakan ada skenario asing membuat rusuh agar Indonesia tidak stabil.
Bagaimana dengan peran TNI?
Saya kira memang militer perlu dilibatkan. Tapi tanpa sikap proaktif masyarakat, sulit menciptakan Indonesia yang stabil karena terbatasnya jumlah aparat kita. Masalah ini adalah masalah keamanan, sedang masalah teroris adalah salah satu dari masalah keamanan yang dihadapi negeri ini. Karena itu, masyarakat hendaknya membantu aparat dengan memberikan informasi sehingga permasalahan apa pun yang timbul, bisa diatasi sedini mungkin.
Bapak Noordin
Sebelum Abu Dujana tertangkap, Noordin dikatakan sebagai orang yang paling berbahaya. Tapi setelah Abu Dujana tertangkap, dikatakan ia adalah orang yang lebih berbahaya dari pada Noordin. Siapakah yang membawa berita tidak benar ini, apakah aparat keamanan atau pihak intelijen. Apakah kepentingan asing bermain dalam penangkapan Abu Dujana ini?
Saya kira dua orang ini adalah orang yang berbahaya. Hanya posisi Abu Dujana lebih tinggi dari posisi Noordin. Menyangkut kemampuan taktik dan strategi, termasuk pelatihan dan infrantri, serta kemampuan managerial lebih handal Abu Dujana dibandingkan dengan Noordin. Kalau kita bertanya siapa yang salah, apakah intelijen atau petugas aparat kepolisian, hal ini menyangkut informasi saja. Informasi ini bisa kita pilah dua; kepada masyarakat atau kepada user. User ini adalah pemerintah, dalam hal ini presiden, untuk mengambil kebijakan-kebijakan apakah ini untuk kepentingan negara lain atau masyarakat kita. Selama ini ada kesepakatan regional antara enam negara ASEAN dengan Australia. Kesepakatannya adalah bekerja sama sama dan memberikan informasi mengenai seputar tindak terorisme demi keamanan bersama. Mengenai kepentingan negara lain, kepentingannya adalah masalah arus informasi dini (early warning) dan mencegah timbulnya aksi terorisme serta bagaimana menanganinya.
Sebenarnya, masalah terorisme bukan hanya masalah keamanan semata, tapi juga berimplikasi pada sektor pariwisata, perekonomian dan investasi. Lebih penting lagi, aksi terorisme berimbas langsung pada pencitraan negara. Oleh karena itu, kepentingan menangkap para pelaku teror adalah kepentingan bersama semua negara. Dan, seperti yang telah saya katakan, ada kesepakatan regional untuk saling tukar menukar informasi yang berhubungan dengan terorisme.
Bapak Asri
Menurut saya, aksi teror ini bersumber dari kebijakan politik luar negeri Amerika yang tidak adil atas Palestina, Irak, Afganistan, negeri-negeri Muslim lainnya. Permasalahan lain, pasca runtuhnya komunisme, Islam dijadikan sasaran target berikutnya oleh kaum imperialis dan kapitalis. Dan hal ini erat kaitannya persaingan bisnis. Untuk memenangkan persaingan ini, mereka menggunakan umat Islam yang fanatik terhadap agamanya. Saya bukan orang intelijen, tapi saya memprediksikan puluhan ribu spion-spion (mata-mata) Amerika di Indonesia yang menggunakan orang-orang Asia. Karena itu, kita harus waspada.
Saya bukan intelijen, tapi saya adalah pengamat intelijen. Di awal pembicaraan saya sudah kemukakan masalah ketidakadilan ini dan ada semacam “benturan peradaban” antara Islam dan Barat yang disinyalir oleh Samuel Huntington. Masalah banyaknya intel-intel asing yang berkeliaran di Indonesia sudah diungkapkan oleh Riyamizad Ryacudu yang waktu itu menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat.
Apakah Riyamizad adalah orang yang pertama mengungkapkan adanya intel-intel asing di negeri ini?
Sebenarnya saya dulu mengungkapkan hal yang sama. Tapi terjadi perbedaan pendapat antara saya dengan Menteri Luar Negeri (Hasan Wirayudha-red). Karena saya lebih muda, saya tidak enak melanjutkan polemik ini. Setelah Bapak Riyamizad mengungkapkannya, mulailah orang berfikir dan percaya bahwa ada kepentingan lain yang bermain di Indonesia.
Bagaimana mengatasi hal ini agar tidak membawa dampak buruk bagi bangsa?
Persoalan yang paling mendasar adalah kewaspadaan kita dan bagaimana mengatasinya karena kita sekarang sudah tahu mengenai hal ini. Untuk melawan ini perlu kerja sama antara masyarakat, ulama dan umara (pemerintah). Ulama dan umara perlu bersanding, bukan bertanding. Tapi yang terjadi, terkadang ada benturan antara ulama dan umara. Ada satu kawasan di mana Kapolda dan Gubernur tidak bertegursapa. Ini sangat disayangkan terjadi. Ini bukan joke, tapi kenyataan yang terjadi. Saya bukan mengarang, tapi saya mendengarnya dari pembicaraan-pembicaraan di DPR. Bagaimana jika hal ini terjadi antara ulama dan umara! Akhirnya, koordinasi tidak jalan dan memutus arus informasi. Hal inilah yang menyebabkan kita tidak mempunyai “kartu pengaman”. Kita ingin, negara ini mempunyai “kartu pengaman” sehingga masalah yang timbul, sekecil apa pun, bisa segera diselesaikan sehingga tidak membesar. Kecepatan mengatasi masalah, memerlukan kebersamaan.
Bagaimana pendapat Anda mengenai tesis Huntington tentang “benturan peradaban”?
Kalau misalnya ada “benturan peradaban,” sebenarnya tidak hanya Islam dengan Barat. Dalam kehidupan sehari-hari kita pun sering mengalami benturan kepentingan. Dan ini adalah hal yang wajar. Tapi setelah benturan kepentingan ini dipelintir dan dipolitisir, akhirnya menimbulkan sesuatu yang tidak wajar. Pada akhirnya, muncul kesan seolah-olah ada perang antara Islam dan Barat. Padahal di balik itu semua, ada kepentingan yang berusaha mereka satukan. Seperti kepedulian terhadap anak-anak dan penyandang penyakit AIDS. Kepentingan bersama ini tidak berbenturan karena fokusnya tidak dipelintir. Kami ingin perbedaan pandangan ini diminimalisir dan tidak semua perbedaan itu adalah rahmat. Misalnya, jika mempertahankan sesuatu yang baik demi bangsa, kemudian datang pemahaman dari luar yang lebih baik, tentunya paham ini kita adopsi. Tapi kita tetap harus punya filter dan mempertahankan kewaspadaan kita sehingga tidak terjadi intervensi-intervensi yang justru mendegradasi bangsa ini. Sengaja atau tidak, sebagaian dari kita telah menjadi pengkhianat negeri ini dan bermain demi kepentingan asing.
Tadi Anda mengatakan bahwa ada orang dari Singapura yang menjadi mastermind dari konflik Poso. Apakah dia orang kita atau orang asing?
Ia adalah orang asing yang memang mempunyai target untuk memporak-porandakan negeri ini. Saya termasuk tim sosialisasi penjanjian Helsinky dan juga tim penanganan masalah Poso dan Militer. Pada waktu saya ceramah di Korea Selatan mengenai berbagai kerusuhan di Indonesia, ada delegasi dari Sri Langka yang banyak tahu tentang Poso, bahkan ia punya data-data yang begitu lengkap. Kemudian saya tanya, Anda dapat data dari mana? Dia jawab saya dapatkan data dari LSM-LSM yang ada di Poso. Ini kejadian luar biasa. Ada intervensi melalui LSM-LSM dan banyak LSM yang tidak melaporkan hasil temuannya kepada Pemda.
Lantas bagaimana tindakan aparat terhadap LSM-LSM tersebut?
LSM itu ada yang melapor dan ada yang tidak. Mereka menyelinap begitu saja tanpa melapor karena berada di daerah terbuka dan LSM-LSM ini menggunakan orang-orang lokal untuk mencuri-curi informasi. Mereka melakukan mapping orang-orang yang bisa dipakai untuk mencuri informasi dengan ganjaran sejumlah uang. Begitu juga dengan orang yang datang dari Singapura itu. Di salah satu Hotel Jakarta, ia menyebar-nyebar uang. Marilah kita tidak saling menyalahkan dan marilah kita sadari bahwa kita dibenturkan antar sesama. Ada semacam project pembenturan dari luar dan ini yang harus kita sadari. Informasi yang saya sampaikan ini bertujuan agar kita meningkatkan kewaspadaan nasional supaya kita tidak diadu domba seperti yang terjadi di Palestina, yaitu bentrokan antara Hamas dengan Fatah. Di Indonesia, juga akan dilakukan test case, misalnya antara Ahmadiyah diadu dengan kelompok lain.
Terima kasih kami ucapkan atas kesediaan Anda berdialog dengan pendengar RRI. Mudah-mudahan di lain waktu kita bisa berjumpa lagi.
Sama-sama, mudah-mudahan di lain waktu kita bisa berdialog kembali. Amin.
Aksi Terorisme Tidak Rasional
Apa sebenarnya penyebab munculnya terorisme di Indonesia?
Kalau dalam konteks Indonesia, munculnya kelompok teroris akibat; pertama adalah masalah sentimen keagamaan dan pembelaan terhadap umat Islam yang tertindas di Timur Tengah. Standar ganda yang diterapkan dalam masalah Palestina-Israel yang mendorong mereka untuk melakukan perlawanan. Karena mereka tidak bisa menyerang di Palestina, akhirnya mereka menyerang di mana saja, yaitu di daerah yang banyak ditinggali warga negara yang pemerintahnya dianggap berbuat kezaliman di Palestina. Indonesia berpeluang besar dijadikan tempat itu, mengingat Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim mayoritas sehingga mereka mempunyai tempat untuk bersembunyi. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa Indonesia menjadi ladang subur dari ajang terorisme internasional. Sesungguhnya Indonesia juga menjadi korban.
Apakah meledakkan bom di Indonesia adalah perjuangan yang tepat untuk membela umat Islam yang tertindas di Timur Tengah?
Kita ingin menyadarkan bahwa kita perlu rasional dalam berjuang. Tidak hanya mengandalkan semangat semata, tanpa berpikir bahwa korbannya adalah bangsa ini. Akibat aksi terorisme, bangsa ini perekonomiannya semakin morat-marit, banyak orang di-PHK, investor takut masuk ke Indonesia, dan turis enggan berkunjung. Kita harus memikirkan manfaat dan mudarat saat akan melakukan serangan di negara sendiri. Saya kira, melakukan serangan di negara sendiri lebih banyak mudharatnya. Saya lebih menghargai mereka yang dari Qatar, Maroko, Libya, dan negara lain yang langsung pergi ke negara konflik untuk membantu saudara seiman mereka. Ini lebih kesatria daripada beraksi di negeri sendiri. Kalau mau berperang, pergilah ke tempat perang. Jangan berperang di daerah damai, apalagi sampai mengorbankan orang yang tidak berdosa dan merugikan atau melumpuhkan perekonomian negara tersebut yang tentunya akan mengakibatkan penderitaan bagi rakyatnya, termasuk bagi mereka yang beragama Islam.
Mengapa pejuang HAM di Indonesia bisa menerima UU semacam UU Antisubversi? Apakah pejuang HAM Indonesia tidak belajar dari pejuang HAM negara lain?
Ini disebabkan trauma masa lalu sehingga muncul penentangan yang sangat keras terhadap UU Antisubversi di DPR dan di masyarakat melalui LSM-LSM maupun ormas-ormas. Ini merupakan buah simalakama. Kondisi ini sangat rawan untuk dijadikan satu titik lemah untuk masuk. Kita harus sadari bahwa kelompok-kelompok perlawanan (terhadap UU Antisubversi-red) mempunyai agenda tersendiri. Kalau terorisme terus berlangsung, pencitraan terhadap pemerintah sekarang akan menjadi negatif. Sehingga di 2009 kelompok tertentu mempunyai peluang mengambil alih pemerintah. Inilah yang menyebabkan terjadinya perseteruan politik sehingga yang menjadi korbannya adalah rakyat sendiri. Ini yang kita sesalkan.
Kita menghimbau kepada para politisi untuk lebih mengedepankan kepentingan publik yang lebih luas dan mereka mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan yang cukup kepada warga negara Indonesia, termasuk warga negara asing yang tinggal di Indonesia, tanpa harus melanggar HAM. Tapi kita ingat, bahwa teroris sendiri adalah pelanggar HAM. Sungguh enak sekali jika para teroris dihormati HAM-nya sedangkan perbuatan mereka melanggar HAM.
Bagaimana masyarakat menyikapi kondisi ini?
Masyarakat kita ingin tahu beres saja. Mereka tidak mau pusing akan hal ini dan mereka cenderung tidak peduli. Yang peduli adalah DPR, organisasi sosial kemasyarakatan, para aktivis, dan LSM-LSM yang merasa tidak dengan kondisi seperti itu. Masyarakat hanya ingin tahu beres saja. Dan saya melihat sebagian masyarakat sudah jenuh dengan kondisi seperti ini. Sudah tidak ingin adanya teror-teror yang berkepanjangan, karena itu mereka menginginkan UU subversi diterapkan. Masyarakat yang berpendapat seperti ini hanya sebagian saja dan sebagian yang lain menolak. Yang kita perlukan adalah satu alternatif atau jalan keluar dari masalah ini. Kalau kita berkaca pada Amerika, pemerintah Amerika mengutamakan perlindungan publik, baik warga negara sendiri maupun warga negera asing. Sehingga pemerintah Amerika memburu kelompok yang dianggap menggangu keamanan rakyatnya, bahkan dengan menangkap kepala negara lain yang mengusik kepentingan nasionalnya. Indonesia untuk menjadi seperti Amerika tidak mampu, karena hal ini harus didukung oleh kekuatan ekonomi dan militer yang cukup besar.
Jadi, kita harus menjadi negara makmur lebih dahulu?
Ancaman Teroris Tetap Ada
Beberapa waktu lalu, pasca peringatan lima tahun 11/9, Al Qaeda Dr. Ayman Al-Zawahiri, tangan kanan Osama bin Laden, kembali melontarkan ancaman teror dan menyerukan kaum Muslim membuat serangan. Komentar Anda?
Sebetulnya, selama mereka masih ada, ancaman tetap ada. Termasuk di Indonesia, selama Noordin M. Top, Zulkarnaen, Abu Dujana, Umar Patek dan lain-lain belum tertangkap, maka ancaman itu tetap ada. Selama perlakuan negara-negara Barat tidak mau merangkul dan berendah hati, selama itu pula perseteruan akan terjadi. Perseteruan ini sepertinya ada yang memelihara, dengan alasan kalau dunia aman, pabrik-pabrik senjata tidak akan laku, riset-riset unggulan tidak akan terpakai, dan asuransi-asuransi besar tidak pernah tersentuh, dan lain sebagainya. Ini yang menjadi persoalan, mengapa ada kepentingan ekonomi yang bersama-sama masuk di dalamnya.
Jika demikian, benarkah ada rekayasa asing dalam aksi terorisme, termasuk penggunaan teknologi informasi?
Itu jelas ada dan tidak terbantahkan lagi. Semua itu by design dan kita harus sadari bahwa siapa pun yang pegang bola atas politik dunia adalah mereka yang kuat secara ekonomi dan militer serta intelijen. Merekalah yang memainkan bola. Ingat, bangsa yang besar adalah bangsa yang siap untuk bertempur. Bertempur dan menyerang adalah pertahanan yang terbaik. Ini adalah konsep sepak bola yang diterapkan dalam bidang politik. Oleh karena itu, Amerika selalu mendahului karena ingin memenangkan sebuah permainan ataupun pertempuran.
Bagaimana Anda melihat peran intelijen kita dalam memberantas aksi terorisme?
Intelijen kita sudah disebar sedemikian rupa. Sebetulnya masalah terorisme bukan hal baru, karena pada tahun 1994 sudah dibahas bersama dengan pejabat-pejabat keamanan Amerika. Di tahun 1994 belum ada bibit apa pun, akan tetapi terus didengungkan untuk bagaimana melakukan kontraterorisme, bagaimana menggunakan teknik propaganda untuk membendung opini dan lain sebagainya. Terorisme yang terjadi saat ini sudah diperhitungkan. Intelijen membuat “kirka”, yaitu perkiraan keadaan. Kirka ini ada yang tahunan, lima tahunan, sepuluh tahunan, bahkan ada yang dua puluh lima tahunan.
Bagi negara yang sudah mengetahui “kirka” ke depan seperti apa, ia harus mempersiapkan untuk mengantisipasinya. Di Indonesia pun sama, kita sudah melakukan hal yang sama. Hanya persoalannya, Indonesia masih diliputi oleh awan kabut masalah ekonomi. Masalah ekonomi ini sangat memberatkan. Hal ini membuat kita susah mengembangkan persenjataan karena tidak ada dukungan dana yang cukup. Radar-radar kita sudah usang. Begitu pula dengan sistem deteksi dini (early warning), kita tidak bisa membeli yang baru karena harganya sangat mahal. Peralatan kita dibeli pada tahun 1975-an sehingga sudah sangat usang sekali, bahkan ada yang jadi bangkai. Oleh karena itu, perlu ada pembaharuan laboratorium yang modern dan bisa dilakukan secara mandiri tanpa harus bergantung pada teknologi asing. Kita harus membuat sistem dan peralatan yang sesuai dengan kondisi geografis kita. Karena peralatan kita sudah usang, maka hal ini menghambat kinerja dari aparat intelijen kita.
Bagaimana Anda menanggapi penggunaan laptop oleh Imam Samudra dalam penjara? Bukankah hal ini tidak perlu terjadi di penjara yang penjagaannya super ketat?
Sebetulnya penggunaan laptop oleh Imam Samudra disebabkan keteledoran sipir penjara. Sipir penjara kita ada oknum-oknum yang bisa dibayar, seperti lolosnya tahanan kelas kakap; Gunawan Santoso dan Edy Tansil, maupun yang kecil; lolosnya pengedar narkoba, masuknya narkoba ke dalam penjara, dan lain-lain. Ini merupakan tanda bahwa memang ada oknum sipir penjara yang mempunyai mental oportunis, mereka memanfaatkan kedudukannya untuk keuntungan dirinya sendiri, tanpa melihat efek lebih jauh, yaitu kepentingan negara. Itulah sebabnya kita jangan bergerak setelah terjadi, semestinya semua itu bisa diantisipasi dan ditertibkan agar di kemudian hari tidak terjadi lagi. Misalnya pembenahan moral dan kesejahteraan agar mereka tidak tergoda menerima uang yang merugikan kepentingan negara.
Bukankah dengan adanya “kirka” aparat negara sejatinya bisa mencegah peristiwa seperti ini?
Indonesia sangat luas. Setelah UU Antisubversi telah dihapus, maka tidak ada UU yang mampu menangkap kelompok teroris sebelum ada bukti. Inilah alasan logis kenapa kita tidak sekuat Malaysia dan Singapura membentengi diri dari serangan kaum teroris. Singapura dan Malaysia mempunyai UU ISA (Internal Security Act) yang memberikan kewenangan kepada negara untuk menangkap tanpa diadili. UU Patriot X lebih gila lagi, memenjarakan orang tanpa batas waktu. Indonesia, setelah reformasi, justru mempereteli semua perangkat itu sehingga menjadi lumpuh dari segi perundang-undangan dan sampai sekarang belum ada penggantinya.
Setahun terakhir ini kita bersyukur karena bom tidak ada yang meledak di negeri ini. Apakah ini menjadi tanda karena kelompok teroris melemah atau ada hal lain?
Memerangi Teroris Perlu Grand Skenario
Bagaimana Anda melihat strategi kebijakan pemerintah dalam memerangi terorisme?
Seharusnya pemerintah memberikan payung hukum kepada dunia intelijen—hal ini masih dalam tahap penggodokan dan diperkirakan akan dibahas tahun 2007, memberikan pembekalan kepada unit-unit khusus yang berada titik terdepan dalam memburu para teroris, seperti Densus 88 maupun pihak TNI yang terlibat secara aktif. Perlu disadari bahwa skenarionya adalah jarum jatuh pun terdengar oleh pemerintah sebagaimana yang pernah diterapkan pada masa Orba. Pemerintah tampaknya mencoba mengkaji ulang kemungkinan diaplikasikannya strategi ini pada zaman sekarang. Ternyata menghidupkan kembali Babinsa, Babinkatibnas, dan RT/RW membuat kewaspadaan terhadap serangan aksi terorisme menjadi lebih baik. Di samping itu, kerjasama dengan negara-negara sahabat dan penggunaan peralatan pendeteksi, teknologi dan satelit, termasuk alat pelacak dan alat penyadap diperlukan dalam hal ini. Karena itu, saya mengatakan bahwa dalam memerangi kaum teroris harus ada grand skenario.
Perkembangan Islam di Indonesia sangat pesat. Bagaimana membedakan antara Islamologi dan “Muslim ekstrem”?
Membedakan Islamologi dan ekstrimis adalah dari perilaku, ucapan, dan sikap sosial kemasyarakatan. Dari sini bisa kelihatan. Bisa juga dibedakan dari cara peribadatannya yang kelihatan “nyeleneh” atau tidak lazim. Ini tentu sudah menimbulkan stigma kenapa harus seperti itu, kenapa berpisah dan tidak berbaur dengan masyarakat. Pasti ada yang disembunyikan. Bagi mereka yang “Islam KTP” atau Islam abangan, biasanya mereka lebih mudah cair karena memang memandang kemaslahatan secara sekular. Akan tetapi kelompok ekstremis didera oleh sentimen keagamaan yang kuat, persaudaraan sesama satu agama. Saat mereka melihat saudaranya hidup di bawah tekanan, baik fisik maupun psikis, dari kelompok yang lebih kuat, mereka mengaktualisasikan rasa persaudaraan mereka dengan melakukan aksi pembalasan, dan itu terjadi di mana-mana, tidak hanya di Indonesia saja. Itulah sebabnya, untuk mengendus rangkaian utamanya adalah mempelajari pola tingkah laku dan hubungan kemasyarakatan serta pola ibadahnya.
Tapi masalah perilaku, sikap dan ibadah yang berbeda, tidakkah disebabkan karena perbedaan penafsiran terhadap dalil agama?
Betul, akan tetapi jika perilakunya menyendiri dan tata cara ibadahnya berbeda, melakukan bai’at dan tidak mengizinkan kelompoknya untuk berbaur dengan masyarakat dan menganggap yang orang di luar kelompok sebagai kafir, adalah sebuah ketidaklaziman. Ketidaklaziman inilah yang perlu kita amati dan kalau bisa kita sadarkan mereka. Dasar utama yang dilakukan oleh kelompok teroris untuk mengajak masyarakat mengikuti pola-pola bom bunuh diri adalah dengan bai’at (Bai’at adalah sumpah dan janji setia untuk mematuhi setiap larangan dan perintah pemimpin. Mereka menganggap bai’at sebagai sebuah kewajiban yang harus dilakukan sebelum memasuki organisasi mereka. Karena itu, seseorang hanya sah menjadi anggota kelompok mereka setelah melantunkan bait-bait bai’at yang telah disediakan oleh pimpinan mereka-red).
Di tahun 1970-an ada buku yang mengupas masalah terorisme, seperti Tentara Merah. Apa yang dimaksud dengan “terorisme internasional merah” dan “terorisme internasional hitam”?
Terorisme merah adalah terorisme yang berkembang dari negara-negara merah, yaitu negara komunis. Terorisme merah melancarkan teror karena sejarah masa lalu, yaitu Perang Dingin. Sampai sekarang masih ada negara-negara yang bergaya komunis tetap melakukan pressure terhadap lawannya, termasuk dengan menggunakan cara-cara teror. Terorisme hitam cenderung pada gaya-gaya kriminal dan ingin meraup keuntungan dengan cara-cara memaksa. Terorisme hitam ini biasanya lawan dari pemerintah karena pemerintah merasa terganggu dengan aktivitas-aktivitas pelanggaran hukum kelompok teroris hitam. Ini sering terjadi di segi tiga emas, di mana di sana ada ladang-ladang ganja. Ada sekelompok teroris yang mempunyai armada tentara, termasuk mempunyai pasukan tank. Mereka bertempat di daerah pedalaman. Mereka membangun imperium tersendiri yang tidak mau disentuh oleh kekuasaan, bahkan mereka siap untuk bertempur. Selain berada di segi tiga emas, mereka ada di Indo Cina, dan Kolombia. Sedangkan di Brazilia ada gangsters yang sangat menakutkan, bahkan polisi takut kepada mereka.
Mengapa Anda menggunakan istilah “terorisme hitam”?