Kamis, 28 Februari 2008

What is Terrorism?

Terrorism is not new, and even though it has been used since the beginning of recorded history it can be relatively hard to define. Terrorism has been described variously as both a tactic and strategy; a crime and a holy duty; a justified reaction to oppression and an inexcusable abomination. Obviously, a lot depends on whose point of view is being represented. Terrorism has often been an effective tactic for the weaker side in a conflict. As an asymmetric form of conflict, it confers coercive power with many of the advantages of military force at a fraction of the cost. Due to the secretive nature and small size of terrorist organizations, they often offer opponents no clear organization to defend against or to deter.

That is why preemption is now so important. In some cases, terrorism has been a means to carry on a conflict without the adversary realizing the nature of the threat, mistaking terrorism for criminal activity. Because of these characteristics, terrorism has become increasingly common among those pursuing extreme goals throughout the world. But despite its popularity, terrorism can be a nebulous concept. Even within the U.S. Government, agencies responsible for different functions in our current fight against terrorism use different definitions.

The United States Department of Defense defines terrorism as “the calculated use of unlawful violence or threat of unlawful violence to inculcate fear; intended to coerce or to intimidate governments or societies in the pursuit of goals that are generally political, religious, or ideological.” Within this definition, there are three key elements—violence, fear, and intimidation—and each element produces terror in its victims. The FBI uses this: "Terrorism is the unlawful use of force and violence against persons or property to intimidate or coerce a government, the civilian population, or any segment thereof, in furtherance of political or social objectives." The U.S. Department of State defines "terrorism" to be "premeditated politically-motivated violence perpetrated against non-combatant targets by sub-national groups or clandestine agents, usually intended to influence an audience.

Outside the United States Government, there are greater variations in what features of terrorism are emphasized in definitions. The United Nations produced this definition in 1992; "An anxiety-inspiring method of repeated violent action, employed by (semi-) clandestine individual, group or state actors, for idiosyncratic, criminal or political reasons, whereby - in contrast to assassination - the direct targets of violence are not the main targets." The most commonly accepted academic definition starts with the U.N. definition quoted above, and adds two sentences totaling another 77 words on the end; containing such verbose concepts as "message generators" and 'violence based communication processes." Less specific and considerably less verbose, the British Government definition of 1974 is"…the use of violence for political ends, and includes any use of violence for the purpose of putting the public, or any section of the public, in fear."

Terrorism is a criminal act that influences an audience beyond the immediate victim. The strategy of terrorists is to commit acts of violence that .draws the attention of the local populace, the government, and the world to their cause. The terrorists plan their attack to obtain the greatest publicity, choosing targets that symbolize what they oppose. The effectiveness of the terrorist act lies not in the act itself, but in the public’s or government’s reaction to the act. For example, in 1972 at the Munich Olympics, the Black September Organization killed 11 Israelis. The Israelis were the immediate victims. But the true target was the estimated 1 billion people watching the televised event.

The Black September Organization used the high visibility of the Olympics to publicize its views on the plight of the Palestinian refugees. Similarly, in October 1983, Middle Eastern terrorists bombed the Marine Battalion Landing Team Headquarters at Beirut International Airport. Their immediate victims were the 241 U.S. military personnel who were killed and over 100 others who were wounded. Their true target was the American people and the U.S. Congress. Their one act of violence influenced the United States’ decision to withdraw the Marines from Beirut and was therefore considered a terrorist success.

There are three perspectives of terrorism: the terrorist’s, the victim’s, and the general public’s. The phrase “one man’s terrorist is another man’s freedom fighter” is a view terrorists themselves would accept. Terrorists do not see themselves as evil. They believe they are legitimate combatants, fighting for what they believe in, by whatever means possible. A victim of a terrorist act sees the terrorist as a criminal with no regard for human life. The general public’s view is the most unstable. The terrorists take great pains to foster a “Robin Hood” image in hope of swaying the general public’s point of view toward their cause. This sympathetic view of terrorism has become an integral part of their psychological warfare and needs to be countered vigorously.

Menyambut Buku Dr. Syamsuddin Arif

Tepat saat acara ”5 Tahun INSISTS”, juga diluncurkan buku berjudul “Orientalis dan Diabolisme Pemikiran.” Baca catatan akhir pekan [CAP] Adian ke-225

Oleh: Adian Husaini

ImagePada 9 Februari 2008, tepat saat acara ”5 Tahun INSISTS” (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization), terbitlah buku berjudul Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, karya Dr. Syamsuddin Arif. Di tengah semakin kokohnya cengkeraman studi Islam gaya orientalis di Indonesia, buku Syamsuddin ini menjadi sangat berarti kehadirannya. Selain menyuguhkan data yang melimpah tentang studi dan pemikiran Islam gaya orientalis dalam berbagai bidang studi, buku ini ditulis dalam perspektif jelas dan tajam.

Buku ini memang merupakan kumpulan tulisan di berbagai media dan kesempatan. Namun, semuanya dibingkai dalam cara pandang yang kokoh dan padu. Dalam komentarnya atas buku ini, cendekiawan Gontor Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi menulis: ”Suatu karya yang tidak dapat lahir kecuali dari seseorang yang memiliki framework yang jelas. Pendekatannya mengesankan seperti anti-Barat dan anti-kemapanan, padahal ini adalah upaya riil untuk berubah dan mengubah diri dari kondisi yang selama ini terhegemoni oleh framework dan worldview orientalis dan Barat.”

Penulis buku ini sudah cukup kita kenal. Dia adalah peneliti INSISTS. Cendekiawan muda Betawi ini menyelesaikan doktornya di ISTAC-Kuala Lumpur. Kini, selain mengajar di Universitas Islam Internasional Malaysia, dia masih menyelesaikan disertasi untuk doktor keduanya di Orientalisches Seminar, Universitas Frankfurt, Jerman. Buku ini menjadi indikator bahwa penulisnya ”bukan orang sembarangan”.

Dalam kaitan dengan ”Diabolisme Pemikiran”, penulisnya mencatat, bahwa ”Diabolos adalah Iblis dalam bahasa Yunani Kuno... maka istilah ”diabolisme” berarti pemikiran, watak, dan perilaku ala Iblis ataupun pengabdian kepadanya.” Iblis bukan bodoh, bukan ateis. Iblis kenal Tuhan. Tapi, Iblis ingkar, kafir, menolak tunduk kepada Allah. Kesalahan Iblis bukan tidak berilmu, tetapi membangkang, merasa hebat, dan melawan perintah Allah. ”Dalam hal ini, Iblis tidak sendirian. Sudah banyak orang yang berhasil direkrut sebagai staf dan kroninya, berpikiran dan berperilaku seperti yang dicontohkannya. Iblis adalah ’prototype’ intelektual ’keblinger’.” (hal. 143-144).

Membaca buku ini, kita seperti dibawa hanyut oleh penulisnya dalam menelusuri relung-relung pemikiran orientalis yang penuh dengan jebakan dan penyesatan pemikiran. Satu persatu logika-logika orientalis, baik yang tersirat maupun yang tersurat, dikupas dan dikritisinya. Tak jarang, penulisnya menggunakan kata-kata yang lugas dan tajam dalam memberikan kritiknya.

Pada bagian tulisan ”Orientalis dan Al-Quran”, Syamsuddin mencatat: ”Dinyatakan dalam Al-Quran bahwasanya orang Yahudi dan Kristen memang tidak pernah berhenti, dengan segala macam cara, mempengaruhi umat Islam agar mengikuti agama mereka. Mereka ingin umat Islam melakukan seperti apa yang mereka lakukan, menggugat, dan mempersoalkan yang sudah jelas dan mapan, sehingga timbul keraguan terhadap yang sahih dan benar. Untuk memberi kesan seolah-olah objektif dan otoritatif, orientalis-misionaris ini biasanya berkedok sebagai pakar (expert scholars) mengenai bahasa, sejarah, agama, dan tamadun Timur, baik yang ’Jauh’ (Far Eastern, seperti Jepang, China dan India) maupun yang ’Dekat’ (Near Eastern, seperti Persia, Mesir dan Arabia).” (hal. 2-3).

Dalam kajian Al-Quran, misalnya, satu persatu orientalis yang berusaha meragu-ragukan Al-Quran dikritisi pemikirannya. Banyak orientalis memang menyerang al-Quran dengan motif dan perspektif agama mereka. Gagasan pembuatan ”Edisi Kritis al-Quran” dari Arthur Jeffery, misalnya, jelas dilatarbelakangi pola pikir kondisi Bibel. Ia bermaksud merestorasi teks Al-Quran berdasarkan Kitab al-Mashahif karya Ibn Abi Dawud as-Sijistani yang ditengarai merekam bacaan-bacaan dalam beberapa ’Mushaf Tandingan’ (rival codices). Jeffery bermaksud meneruskan usaha Gotthelf Bergtrasser dan Otto Pretzl, dua orientalis Jerman yang berjibaku mengumpulkan foto lembaran-lembaran naskah (manuskrip) Al-Quran dengan tujuan membuat Edisi Kritis Al-Quran. Namun, upaya ini gagal karena arsip-arsip di Munich hancur musnah tertimpa bom saat Perang Dunia Kedua. (hal. 5).

Dalam sejumlah CAP, kita pernah membahas, bagaimana gagasan Edisi Kritis Al-Quran kemudian dikembangkan oleh kaum liberal di Indonesia. Sejumlah dosen UIN alumni dan jebolan Jerman kini menyokong upaya pembuatan Al-Quran Edisi Kritis. Sadar atau tidak, para dosen ini sudah terjebak dalam metode pikir orientalis. Dan ironisnya, mereka bangga menjadi pelanjut pemikiran orientalis.

Sepertinya, tidak ada rasa malu lagi untuk menjadi penerus pikiran dan sikap orientalis. Bahkan, banyak yang bangga! Bangga menjadi pengkritik Islam. Umur dan waktunya dihabiskan untuk menyerang Islam. Kepandaiannya dikerahkan untuk menyerang Islam. Bahkan tidak ragu-ragu lagi untuk menyatakan bahwa banyak konsep dasar Islam yang harus dibongkar. Persis seperti apa yang digambarkan Dr. Syamsuddin Arif dalam buku ini. Jika orientalis sudah ragu dengan agama mereka, ragu dengan Kitab Suci mereka, maka mereka pun ingin agar umat Islam mengikuti jejak mereka pula.

Pada bagian ”Orientalis dan Teologi Islam”, Syamsuddin Arif mengungkap deretan karya-karya orientalis dalam bidang ini, baik yang berbahasa Inggris, Jerman, maupun Perancis. Salah satu tujuan mereka melakukan kajian yang sangat serius dalam bidang ini adalah: ”untuk menciptakan konflik dan melestarikan perpecahan di kalangan umat Islam, agar mudah untuk dikuasai berdasarkan prinsip devide et impera. Maka tidak mengherankan kalau objek kajian yang paling diminati oleh para orientalis adalah soal munculnya sekte-sekte sempalan dalam Islam.” (hal. 48).

Lebih jauh Syamsuddin menulis:

”Dengan terbitnya karya-karya tersebut, para orientalis itu bermaksud dan berhasil mengedepankan aliran-aliran sempalan yang sudah diabaikan dan dilupakan orang, mengetengahkan pemikiran-pemikiran sesat yang semula tersisih dan terpinggirkan, dan mengangkat ke permukaan sekte-sekte menyimpang yang selama ini tertekan. Ada satu pesan yang ingin mereka sampaikan, bahwasanya ajaran Islam itu tidak monolitik. Banyak terdapat perbedaan dan perselisihan di kalangan umat Islam, sehingga sejak awal sejarahnya memang sudah terpecah belah. Para orientalis tidak hanya menyoroti hal ini, tetapi juga membesar-besarkan persoalan yang tidak prinsipil.” (50).

Membaca analisis Dr. Syamsuddin tersebut kita dibuat terperangah. Inilah yang selama ini memang terjadi dan sudah puluhan tahun menjadi penyakit kronis dalam dunia Pendidikan Tinggi Islam di Indonesia. Lihatlah buku-buku sejarah dan peradaban Islam yang dijadikan buku rujukan dan diajarkan kepada para mahasiswa kita. Begitu banyak paparan tentang sejarah konflik, perang, dan kucuran darah. Seolah-olah, Islam adalah agama konflik, dan tidak ada yang patut dibanggakan dari sejarah Islam.

Sebuah buku berjudul Sejarah Peradaban Islam yang ditulis seorang guru besar di UIN Jakarta menulis tentang Sayyidina Utsman r.a. dalam gambaran yang sangat buruk, sebagai berikut:

” Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat kecewa terhadap kepemimpinan Usman adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang terpenting adalah Marwan bin Hakam. Dialah pada dasarnya yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Usman hanya menyandang gelar Khalifah. Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, Usman laksana boneka di hadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahannya. Harta kekayaan negara, oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Usman sendiri.” (hal. 38-39).

Inilah contoh cara penggambaran seorang sahabat Nabi Muhamamd saw yang sangat tidak etis dan tidak proporsional. Buku seperti inilah yang selama puluhan tahun diajarkan kepada para mahasiswa di berbagai kampus Islam. Jangan heran, jika akibatnya, banyak muncul sarjana agama yang kemudian tidak mencintai sahabat Nabi saw dan bahkan beberapa diantaranya secara terang-terangan mencaci maki mereka. Seorang mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Semarang, menulis artikel berjudul ”Pembukuan Quran oleh Usman: Sebuah Fakta Kecelakaan Sejarah”. Temannya yang lain menulis ”Kritik Ortodoksisme: Mempertanyakan Ketidakkreatifan Generasi Pasca Muhammad.” (Lihat, Jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Semarang edisi 23 Tahun XI/2003). Di pengantar Redaksinya, Jurnal ini juga menulis: ”Dari sekian tumpuk daftar ketidakkreatifan generasi pasca-Muhammad, yang paling mencelakakan adalah pembukuan Quran dengan dialek Quraisy, oleh Khalifah Utsman Ibn Affan...”

Peneliti INSISTS bidang sejarah, Asep Sobari, mengritik cara-cara pengajaran sejarah semacam itu. Dalam hasil risetnya terhadap pemerintahan Utsman r.a., Asep menunjukkan bahwa gambaran buruk para sejarawan tentang Sayyidina Utsman adalah keliru. Misalnya soal pengangkatan kerabatnya dalam jabatan kenegaraan. Berdasarkan riwayat Khalifah ibn Khayyath dan al-Thabari, Dr. Akram al-Umari mencatat, selama pemerintahannya yang berlangsung selama 12 tahun, Utsman r.a. mengangkat 34 pejabat, dan hanya 7 orang saja yang merupakan kerabatnya, yaitu Mu`awiyah ibn Abu Sufyan, Abdullah ibn Abu Sarh, Walid ibn `Uqbah, Sa`id ibn `Ash, Abdullah ibn `Amir ibn Kurayiz, Ali ibn Rabi`ah dan Marwan ibn Hakam.

Mu`awiyah ibn Sufyan, Abdullah ibn Abu Sarh dan Walid ibn `Uqbah sudah menjabat sejak masa pemerintahan Umar ibn Khaththab. Selain itu, dari empat kerabat yang diangkat langsung oleh Utsman r.a., dua diantaranya kemudian dicopot dari jabatannya, yaitu Sa`id ibn `Ash dan Walid ibn `Uqbah, setelah yang terakhir ini terbukti minum khamr dan menerima hukuman. Fakta ini menunjukkan Utsman r.a. sangat berhati-hati dan selektif dalam memilih kerabatnya yang diangkat menjadi pejabat tinggi.

Jasa-jasa Utsman r.a. terhadap Islam sangatlah luar biasa. Dia pengusaha kaya raya yang telah mewakafkan harta dan jiwanya untuk dakwah Islam. Jasa besarnya menghimpun Mushaf Al-Quran diterima oleh semua sahabat dan diakui jasanya oleh semua ulama (kecuali ulama jahat). Maka, aneh, jika ada dosen dan mahasiswa kampus berlabel Islam yang memperhinakan sahabat Nabi saw yang mulia.

Karena itulah, dengan terbitnya buku Dr. Syamsuddin Arif, maka kita perlu melakukan kerja keras untuk meneliti kembali satu persatu buku-buku teks studi Islam khususnya di Perguruan Tinggi. Dalam buku Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi (2006), saya mengungkap peringatan Prof. HM Rasjidi terhadap masuknya pola kajian orientalis di IAIN melalui buku Prof. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya – satu buku wajib dalam studi Islam sejak tahun 1973. Padahal, tahun 1975, Prof. Rasjidi sudah mengingatkan: buku ini ”sangat berbahaya”.

Ironisnya, banyak dosen dan cendekiawan Muslim lebih suka diam dan cuek terhadap peringatan Prof. Rasjidi tersebut. Banyak yang memilih menjadi penonton yang baik. Jangan heran, ”api yang dulu kecil, sekarang sudah menjadi besar”. Banyak yang belajar Al-Quran, tetapi kemudian bangga menjadi pengkritik al-Quran. Banyak yang belajar sejarah Islam, tetapi kemudian alergi dengan sejarah Islam. Banyak yang belajar syariah, tetapi membenci syariah. Sebab, cara belajar dan buku yang dipelajarinya memang sudah mengikuti pola kajian orientalis.

Karena itu, kita patut bersyukur dengan terbitnya buku Syamsuddin Arif ini. Sebuah buku yang berkualitas ilmiah tinggi. Melalui bukunya, cendekiawan Muslim asal Bewati ini telah menjebol satu mitos yang dibangun oleh kaum orientalis, bahwa sesorang tidak dapat menjadi cendekiawan yang baik (good scholar) dan muslim yang baik (good Muslim) pada saat yang sama. Syamsuddin menjebol mitos itu. Ia membuktikan, seorang bisa menjadi cendekiawan dan sekaligus Muslim yang baik, yang berpegang teguh kepada keyakinan agamanya.

Mengutip satu pepetah Jerman, dalam pengantar bukunya, Syamsuddin Arif menulis: ”Siapa membaca akan mengetahui, dan siapa menulis tak akan mati.” Umat Islam tentu bersyukur dengan terbitnya buku ini. Umat bisa berdialog dan mengenal Doktor Syamsuddin Arif melalui tulisannya, Tetapi, bisa diduga, setelah membaca buku ini, akan banyak pembaca yang penasaran ingin mengenal lebih jauh sosok penulis dan cendekiawan belia kelahiran Jakarta tahun 1971 ini. Dalam tradisi keilmuan Islam, interaksi guru dan murid memang menjadi faktor penting dalam transfer keilmuan.

Pembaca mungkin akan merindukan kucuran ilmu dari penulisnya lebih jauh. Setelah satu persatu ulama Betawi yang berwibawa meninggalkan kita, bumi Jakarta kini terasa semakin gersang dicekam kemaksiatan dan kesemrawutan pemikiran. Banyak umat kini merindukan kedatangan ulama-ulama Betawi yang kokoh dalam ilmu, keyakinan, dan amal. Maka, alangkah indahnya jika suatu ketika nanti di Jakarta berdiri sebuah pusat kajian Islam bernama: ”Majlis Ta’lim Dr. Syamsuddin Arif”.

Yang jelas, terbitnya buku Dr. Syamsuddin Arif ini telah membuktikan, bahwa masyarakat Betawi bukan hanya telah melahirkan FBR, Forkabi, dan Lenong Betawi, tetapi juga melahirkan cendekiawan dan ulama yang bermutu tinggi. Mudah-mudahan ilmunya bermanfaat dan akan terbit lagi buku-buku yang lebih berkualitas. Amin. Wallahu A’lam. [Depok, 15 Februari 2008/www.hidayatullah.com]

Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

Buya Hamka dan Palestina

Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah gelar Datuk Indomo yang akrab dengan panggilan Buya Hamka, lahir 16 Februari 1908, di Ranah Minangkabau, desa kampung Molek, Sungai Batang, di tepian danau Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

Buya Hamka yang bergelar Tuanku Syaikh, gelar pusaka yang diberikan ninik mamak dan Majelis Alim-Ulama negeri Sungai Batang - Tanjung Sani, 12 Rabi’ul Akhir 1386 H/ 31 Juli 1966 M, pernah mendapatkan anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar, 1958, Doktor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974, dan gelar Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.

Buya Hamka adalah seorang ulama yang memiliki ‘izzah, tegas dalam aqidah dan toleran dalam masalah khilafiyah. Beliau sangat peduli terhadap urusan umat Islam, sehingga tidak mengherankan, di dalam dakwahnya, baik berupa tulisan maupun lisan, ceramah, pidato atau khutbah selalu menekankan tentang ukhuwah Islamiyah, menghindari perpacahan dan mengingatkan umat untuk peduli terhadap urusan kaum muslimin.

Ketika dihembuskan opini tentang cerdas dan pintarnya orang-orang Yahudi Israel, sehingga dapat mengalahkan pasukan Arab dalam perang Arab-Israel. Maka Buya meluruskan pemahaman tersebut melalui tulisan beliau di dalam Tafsir Al-Azhar, Juzu’ 1, halaman 221:

“Sebab yang utama bukan itu, Yang terang ialah karena orang Arab khususnya dan Islam umumnya telah lama meninggalkan senjata batinnya yang jadi sumber dari kekuatannya. Orang – orang yang berperang menangkis serangan Israel atau ingin merebut Palestina sebelum tahun 1967 itu, tidak lagi menyebut-nyebut Islam.

Islam telah mereka tukar dengan Nasionalisme Jahiliyah, atau Sosialisme ilmiah ala Marx. Bagaimana akan menang orang Arab yang sumber kekuatannya ialah imannya, lalu meninggalkan iman itu, malahan barangsiapa yang masih mempertahankan idiologi Islam, dituduh Reaksioner. Nama Nabi Muhammad sebagai pemimpin dan pembangun dari bangsa Arab telah lama ditinggalkan, lalu ditonjolkan Karl Marx, seorang Yahudi.

Jadi untuk melawan Yahudi mereka buangkan pemimpin mereka sendiri, dan mereka kemukakan pemimpin Yahudi. Dalam pada itu kesatuan akidah kaum Muslimin telah dikucar-kacirkan oleh ideologi - ideologi lain, terutama mementingkan bangsa sendiri. Sehingga dengan tidak bertimbang rasa, di Indonesia sendiri, di saat orang Arab sedang bersedih karena kekalahan, Negara Republik Indonesia yang penduduknya 90% pemeluk Islam, tidaklah mengirimkan utusan pemerintah buat mengobati hati negara-negara itu, melainkan mengundang Kaisar Haile Selassie, seorang Kaisar Kristen yang berjuang dengan gigihnya menghapus Islam dari negaranya.

Ahli – ahli Fikir Islam modern telah sampai kepada kesimpulan bahwasanya Palestina dan Tanah Suci Baitul Maqdis, tidaklah akan dapat diambil kembali dari rampasan Yahudi (Zionis) itu, sebelum orang Arab khususnya dan orang–orang Islam seluruh dunia umumnya, mengembalikan pangkalan fikirannya kepada Islam. Sebab, baik Yahudi dengan Zionisnya, atau negara-negara Kapitalis dengan Christianismenya, yang membantu dengan moril dan materil berdirinya Negara Israel itu, keduanya bergabung jadi satu melanjutkan Perang Salib secara modern, bukan untuk menentang Arab karena dia Arab, melainkan menentang Arab karena dia Islam”.

Di Juzu’ VI, halaman 307, Buya juga menjelaskan konspirasi negara-negara Eropa dan Amerika dalam pendirian “ Negara Israel”, “Yaitu mereka jajah Palestina, mereka rampas dari tangan Turki. Lalu diserahkan oleh Menteri Luar Negeri Inggris, Lord Boulfour (seorang Yahudi), kepada kaum Zionis, gerakan Yahudi terbesar di zaman ini, supaya mereka membuat negara di sana. Sehabis Perang Dunia Kedua disuruhlah orang Yahudi membentuk Negara Israel di Palestina”.

Buya Hamka berpulang ke Rahmatullah, 24 Juli 1981, telah meninggalkan warisan dan pelajaran yang sangat berharga untuk ditindak lanjuti oleh genarasi Islam, yaitu istiqamah dalam berjuang, menjaga persatuan umat dan peduli terhadap urusan kaum Muslimin.

“Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang."(QS: Al-Hasyr/59: 10). (fn).

H. Ferry Nur S.Si, Sekjen KISPA (Email: ferryn2006@yahoo.co.id)